Selasa, 28 April 2009

Hukum Syara'

Hasil Pemakalahan Zaenal Abidin Mahasiswa STAI An-Nawawi Purworejo

Hukum Syara'
Latar Belakang

Ushul fiqh merupakan suatu ilmu yang didalamnya terkandung kaidah yang menjelaskan cara menggali hukum dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Untuk itu ilmu ini sangat penting bagi para mujtahid.
Adapun hasil ijtihad seorang mujtahid menggunakan ilmu ushul fiqh dpat disebut dengan fiqh. Sedangkan dalam fiqh sendiri terdapat hukum syara’. Yang nantinya hukum tersebut yang berhubungan mukallaf.
Akan tetapi dengan berjalannya waktu menuju zaman modern sekarang ini banyak dari orang kita (muslim) yang kurang begitu mengetahui tentang ilmu ushul fiqh, pada dasarnya apalagi menuju pada mempraktekkannya.
Oleh karena itu agar kita (muslim) sedikit lebih tahu mengenai ilmu itu maka kami pada makalah ini membahas perihal tentang pengertian ushul fiqh secara terminology, hukum syara’dan komparasinya dengan ilmu hukum modern.
Rumusan Masalah
Apa yang dimaksud dengan ushul fiqh secara teminologi ?
Sebutkan pembagian hukum syara’ ?
Bagaimana komparasi ilmu ushul fiqh dengan ilmu hukum modern ?
Pembahasan
Pengertian Ushul Fiqh
Dari segi ethimologi ushul fiqh adalah tarkib idhafi yang terdiri dari kata ushul dan fiqh yang berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi fiqh dengan kata lain ushul bagi fiqh.1
Adapun secara terminologi ushul fiqh menurut Prof. Muhammad Abu Zahrah ushul fiqh berarti kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang cara (metode) pengambilan (penggalian) hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalil syar’i. 2
Hukum Syara’
Secara etimologi hukum mempunyai arti “mencegah”, sedngkan secara terminology hukum berarti ketentuan Allah Swt yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang berupa tuntutan (melakukan atau meninggalkan) atau pilihan ataupun berupa ketentuan.3
Menurut Imam Ghozali mengetahui hukum syara’ merupkan inti dari Ilmu Fiqh an Ushul Fiqh.
Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah suatu ketentuan yang menuntut mukallaf melakukan atau meninggalkan perbuatan atau berbentuk pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan4atau dengan kata lain hukum yang menjelaskan tentang perintah, larangan, dan pilihan untuk melakukan sesuatu atau meninggalkannya.
Hukum taklifi dapat dibagi menjadi lima, yaitu Ijab, mandub, haram, makruh dan mubah (dalam ushul fiqh).
Ijab
Dalam Ushul fiqh mengunakan istilah ijab. Ijab ialah suatu perbutan yang dituntut Syari’(Allah dan Rasul-Nya agar dilaksanakan mukallaf dengan tuntutan yang pasti lagi jelas. Seperti halnya puasa itu wajib karena bentuk tuntutan yang menuntut puasa itu adalah pasti. Allah Swt . berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Baqoroh : 183 yang berbunyi :
Ahli ushul fiqh membagi wajib menjadi beberapa macam, yaitu :5
Wajib dilihat dari segi waktu pelaksanaannya terbagi dua, wajib muthlaq dan wajib muaqqat.
Wajib muthlaq adalah suatu kewajiban yang dituntut oleh Syari’ kepada mukallaf untuk dilakukan tanpa ditentukan waktu pelaksanaannya. Misalnya orang yang melanggar sumpahnya maka ia wajib membayar kaffarat kapan saja ia mampu.
Wajib muaqqat yaitu suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh mukallaf dalam waktu yang telah ditentukan Syari’. Apabila kewajiban itu dilakukan di luar wktu yang telah ditentukan maka perbuatan itu tidak sah. Seperti pada kewajiban shalat dan puasa. Perbuatan –perbuatan dalam wajib muaqqat bila telah dilaksanakan mukallaf pada waktunya dan terpenuhi rukun serta syaratnya maka perbuatannya disebut ada’. Apabila perbuatan yang diwajibkan untuk keduakalinya pada waktu yang telah ditentuka karena perbuatn yang dikerjakan pertama kali tidak sempurna disebut I’adah. Sedangkan melakukan perbuatan yang diwajibkan setelah waktu pelaksanaan kewajiban itu habis disebut qadha.
Wajib yang dilihat dari segi orang yang dituntut melaksanakannya terbagi kepada wajib ‘ain dan wajib kafa’i(kifayah).
Wajib ‘ain yaitu suatu kewajiban yang dituntut Syari’ untuk dilakukan setiap mukallaf sampai dia meniggal, saperti kewajiban shalat dan zakat.
Wajib kifa’i suatu kewajiban yang dituntut Syari’ pada sekelompok mukallaf untuk melaksanakannya. Apabila kewajiban itu sudah dilakukan oleh sebagian mukallaf maka mukallaf yang lain sudah gugur tuntutan kewajibannya. Contohnya seperti menyelenggarakan jenazah.
Wajib dilihat dari segi jumlah atau ukuran yang diwajibkanterbagi juga menjadi dua ; wajib muhaddad dan wajib ghairu muhaddad.
Wajib muhaddad adalah suatu kwajiban yang telah ditentuan Syari’jumlah atau ukurannya sehingga orang mukallaf belum terlepas dari kewajiban itu sehingga telah melaksanakannya sesuai ukuranyang telah ditentukan. Misalnya, zakat harta yang telah ditentukan kadar nishab dan jumlah zakat yang dikeluarkan.
Wajib ghairu muhaddad yaitu suatu kewajiban yang tidak ditentukan Syari’ jumlah dan ukurannya. Sebagai contohnya adalah mengenai nafkah sebelum ada hukum yang konkrit yang menjelaskan ukuran tersebut yang ukurannya tergantung diri kemampuan setiap individu.
Wajib yang dilihat dari segi bentuk perbuatan yang diperintahkan terbagi menjadi wajib mua’yyan dan wajib mukhayyar.
Wajib mua’yyan adalah suatau kewajiban yang diperintahkn Syari’ kepada mukallaf untuk melakukan prbuatan yang telah ditentukan. Mukallaf tidak dapat memilh yang lain kecuali perbuatan yang telah ditentukan seperti melunsi hutang.
Wajib mukhayyar ialah suatau kewajiban yang telah dibebankan Syari’ kepada mukallaf dengan memilih salah satu dari beberapa alternative yang telah ditetapkan. Seperti pembayaran kaffarat sumpah bagi orang yang melanggar sumpah.
Mandub
Mandub adalah sesuatu yang dituntut oleh Syari’ untuk dilaksanakan mukallaf seacara tidak pasti6 atau perbuatan yang dianjurkan oleh Syari’. Bentuk tuntutan Syari’ itu sendiri tidak menunjukkan kepastian atau tuntutan itu bergandengan dengan alasan yang menunjukkan tidak adanya kepastian. Seperti pada firman Allah Swt : baq282
Perintah menuliskan utang adalah sunnah tidak wajib dengan alasan pada ayat seterusnya. Ulama’ ushul fiqh membagi mandub menjadi tiga macam.7
Mandub yang tuntutan mengerjakannya secara menguatkan(muakkadah). Yaitu segala perbuatan yang sangat dianjurkan untuk dilakaukan mukallaf atau sunnah yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah SAW secara kontinyu. Biasanya perbuatan yang tergolong dalam pembagian ini untuk menyempurnakan perbuatan wajib seperti adzan dan iqamah.
Mandub Ghairu muakkad.
Merupakan sunnah yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah SAW secara kontinyu atau kurang begitu dianjurkan, contohnya shalat empat rakat sebelum dzuhur.
Mandub zaidah, yaitu perbuatan yang dimaksudkan untuk meneladani dan mengikuti Nabi atau pelengkapseperti cara berjalan , minum dan tidurnya.
Haram
Haram dapat diartikan dengan larangan Allah yang pasti untuk mukallaf atau tuntutan dari Sang Syari’ untuk ditinggalkan. Suatu perbuatan yang haram atau yang dilarang biasanya dalam al-Qur’an dan Sunnah disertai dengan indikasi seperti kata-kata harrama dan hurrimat atau dengan kata-kata yang lain yang mengindikasikan larangan. Seperti dalam firman Allah Swt.mai 3 an’am 151
Haram terbagi menjadi :
Haram dzati, yaitu haram yangmenurut asalnya sendiri adalah haram. Artinya hukum syara’ telah mengharamkan keharaman itu sejak dari permulaan seperti zina, mencuri dan meminum khamar.
Haram ghairu dzati, yaitu perbuatan yang dilarang oleh syara’ dimana larangan tersebut bukan aslinya melainkan awalnya bias mengandug hukum wajib ,sunnah atau boleh tetapi bersamaan dengan sesuatu yang baru menjadikannya haram seperti shalat menggunakan pakaian hasil curian dan jual beli yang mengandung unsur tipuan.
Makruh
Makruh berarti sesuatu yang dituntut Syari’ untuk tidak dikerjakan atau ditinggalkan oleh mukallaf dengan tuntutan yang tidak pasti,lantaran tidak ada dalil yanag menunjukkan atas haramnya perbuatan itu. Sebagaimana firman Allah Swt. : jum 9
Menurut ulama’ Hanafiyyah makruh terbagi menjadi ;
Makruh tahrim, yeitu perintah untuk meninggalkan suatu perbuatan secara pasti tetapi didasarkan pada dalil yang dzanni bahkan ada yang mengatakan makruh yang mendekati haram, misalnya dilarangnya laki-laki memakai sutera dan emas.
Makruh tanzih ialah tuntutan atau perintah Syari’ kepada mukalllaf untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti. Bapak Firdaus dalam buku ushul fiqhnya mencontohkan makruh tahrim drngan contoh memakan daging kuda8.
Mubah
Mubah merupakan suatu hukum yang oleh Syari’ mukallaf diperintahkan memilih antara melakukan atau meninggalkannya. Sang Syari’ tidak menuntut agar mukallaf berbuat dan tidak juga menuntut agar mukallaf meninggalkannya.
Terkadang kebolehan berbuat (mubah) itu ditetapkan dengan nash syara’ seperti jika Syari’ menetapkan bahwa tidak berdosa berbuat ini maka hal ini menunjukkan kebolehan. Sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an surat al-baqarah ayat 229 :
Hukum mubah ditetapkan karena ada salah satu dari tiga hal, yaitu :
Tiada berdosa bagi orang yang mengerjakan perbutan yang semula haram dengan adanya qarinah (tanda-tana) atas diperbolehkannya perbuatan tersebut.sebagaiman firman Allah Swt :baq173
Tiada nash (dalil)yang menunjukkan haramnya perbuatan tersebut, semisal mendengarkan dan mempergunakan radio.
Ada nash yang menunjukkan atas halalnya, sesuai dengan firman Allah Swt : mai 5
Hukum Wadh’i
Para ulama berbeda dalam pembagian hukum waddh’I. Sehingga dalam memaparkan arti hukum wadh’I itu pun berbeda. Dr. wahbah Zuhaily memberikan pengertian dan maksud serta apa yang dibahas didalam hukum wadh’I dengan ketentuan yang menjadikan atau menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, mani’ (penghalang), sah, fasid, ‘azimah atau rukhsah.9 Sedangkan prof. Muhammad Abu Zahrah berpendapat bahwa hukum wadh’I mempunyai arti dan ranah pembahasan yang berhubungan sebab, syarat dan mani’.10
Sebab
Sebab adalah sesuatu yang dijadikan syariat sebagai tanda bagi adanya hukum dan tidak adanya sebab sebagai tanda bagi tidak adanya hukum. Sebab dapat dibagi menjadi dua, yaitu : 11
Dilihat dari segi kemampuan mukallaf mewujudkannya sebab dapat dibagi dua macam.Pertama , ghairu mahmul lah yaitu sebab yang yang bukan perbuatan mukallaf dan ia tidak mampu untuk mewujudkannya . Apabila sebab ini terwujud maka berlakulah hukum. Dalam hal ini Syari’ yang menentukan ada atau tidaknya hukum tersebut , misalnya tergelincirnya matahari sebagai sebab wajib shalat dhuhur dan datangnya bulan Ramanhan sebgai sebab wajib puasa. Kedua, mahmul lah merupakan sebab yang perbuatan mukallaf dan mukallaf mampu mewujudkannya semisal, melakukan perjalanan sebagai sebab untuk bolehnya berbuka puasa di siang bulan Ramadhan.
Dari segi pengaruhnya terhadap hukum, sebab dibagi menjadi dua macam. Pertama, sebab yang berpengaruh pada hukum taklifi semisal harta senishab manjadi sebab wajib zakat.Kedua, sebab terhadap suatu hukum berpengaruh pada perbuatan mukallaf, seperti akad jual beli menjadi perpindahan milik dari penjual kepada pembeli.
Syarat
Syarat mempunyai arti sesuatu yang adanya hukum itu tergantung pad adanya sesuatu itu dan tidak adanya menjadikan tidak adannya hukum.Yang dimaksud adalah keberadaannya menimbulkan suatu pengaruh.12 Dapat dikatakan tidak adanya syarat berarti pasti tidak adanya hukum, tetapi wujudnya syarat tidak pasti wujudnya hukum.13 Syarat terbagi menjadi dua, yaitu:
Dari segi sumber yang menentukan syarat maka syart terbagi menjadi dua macam :
Syarat syar’i, yaitu syarat yang datang langsung dari syari’(Allah), keadaan rusyd (kemampuan untuk mengatur pembelanjaan sehingga tidak mubadzir) bagi seorang anak yatim dijadikan syariat sebagai syarat untuk wajib menyerahkan harta anak yatim kepadanya, seperti dijelaskan dalam firmsn Allah surat An-Nisa’, 4:6
,,,,,,,,,,,,,,>>>>>>>>>>>>>>….
Syarat ja’ly, yaitu syarat yang berasal dari kemauan mukallaf. Misalnya, syarat yang ditetapkan oleh orang-orang yang melakukan transaksi pemilikan dan pemindahan hak. Syarat bentuk kedua ini harus sejalan dengan syara’. Syarat ja’ly terbagi menjadi dua macam. Pertama, syarat yang tergantung kepadanya adanya akad. Dengan kata lain, mukallaf yang terkait dengan akan tersebut menetapkan bahwa berlangsungnya akad tergantung dengan terpenuhinya syrat yang telah ditetapkan. Hal seperti ini termasuk dalam syarat sebab. Misalnya, seorang suami berkata kepada istrinya : apabila kamu mencuri, maka jatuhlah talaqmu satu. Kedua, syarat yang berhubungan dengan akad, seperti pernikahan bersyarat dengan suami tidak membawa istrinya keluar dari kampung halaman istri tersebut.
Dilihat dari hubungan sabab dengan musabbab,maka syarat terbagi dua macam.14
Syarat yang menyempurnakan sebab, seperti melakukan dengan sengaja yang disertai dengan permusuhan menjadi syarat untuk pembunuhan yang menyebabkan berlaku hukum qishash bagi pembunuhnya.
Syarat yang menyempurnakan musabbab, seperti meninggal muwwaris(orang yang mewariskan) secara hakiki atau secara hukum dan hidupnya ahli waris ketika wafat ahli muwwaris adalah dua syarat untuk berlakunya kewarisan melalui hubungan kerabat dan perkawinan.
Mani’ (penghalang)
Mani’ adalah sesuatu yang adanya meniadakan hukum atau membatalkan sebab. Dapat dikatakan bahwa mani’ merupakan penghalang bagi terwujudnya hukum. Semisal, akad perkawinan yang sah menyebabkan terjadi hubungan kewarisan antara suami dan istri. Namun, hak saling mewarisi antara suami istri tersebut dapat mnjadi terhalang karena salah satu pihak melakukan pembunuhan terhadap pihak lain.
Para ahli ushul fiqa membagi mani’ pada beberapa macam :
Mani’ hukm adalah sesuatu yang ditetapkan Syari’ sebagai penghalang adanya hukum. Misalnya, adanya perbedaan agama dan pembunuhan yang keduanya merupakan mani’ (penghalang) untuk dapat memperoleh harta warisan.15
Mani’ sabab, yaitu sesuatu yang keberadaannya menghalagi berfungsinya suatu sebab. Sebagai contoh apabila seseorang memiliki harta sampai satu nisahab nenjdi sebab ia wajib mengeluarkan zkat hartanya.
‘Azimah dan Rukhshah
Sebagian ahli ushul fiqh menempatkan ‘azimah dan rukhshah sebagai bagian dari hukum taklifi. Akan tetapi kami mengelompokkannya kepada hukum wadh’i.karena kebanyakan buku yang diterima yang sampai makalah ini ditulis mengelompokkan pada hukum wadh’i.
‘Azimah
‘Azimah secara etimologi bararti “tekad yang kuat”.16Sedangkan secara terminology ‘azimah mempunyai arti sesuatu hukum yang dituntut syara’ yang bersifat umum , tidak ditentukan dengan suatu golongan yng diistimewakan atau dengan suatu keadan yang dikecualikan.17
Jadi mukallaf dituntut melaksanakan hukum-hukum tersebut denagn menggunakan kemampuan untuk mencapai sasaran yang dikehendaki hukum tersebut. Misalnya, perintah shalat, puasa, zakat dan haji yang berlaku bagi setiap mukallaf. ‘Azimah terdiri dari beberapa macam.
Hukum yang disyari’atkan sebagi pembatal (nasikh) terhadap hukum lain sehingga yang menasakhkan ini seperti hukum yang berlaku sejak semula (‘azimah). Dalam hal ini, yang mansukh seolah-olah tidak pernah ada.
Hukum yang disyari’atkan karena ada sebab yang muncul. Tegasnya suatu hukum tidak ada kecuali sesudah ada sebabnya.
Hukum yang disyari’atkan sejak semula untuk mewujudkan kemashlahatan manusia secara keseluruhan seperti jual beli.
Hukum yang disyari’atkan sebagi pengecualian dari hukum-hukum yang berlaku umum. Seperti firman Allah surat al-Baqarah ayat 229 :
Rukhshah
Secara etimologi berarti “kemudahan.”18Sedangkan secara terminology rukhshah mempunyai arti keringanan hukum yang telah disayari’atkan Allah Swt atas mukallar dalam keadaan tertentu yang sesuai denga keringanan tersebut.19Para ulama ushul figh membagi rukhshah dengan tinjaun yang berbeda pada beberapa bagian.20
Rukhsah yang bersifat wajib, seperti memakan bangkai hewan bagi orang dalam keadaan darurat atau terpaksa.hal itu wajib dilakukan orang itu demi menyelamatkan nyawanya.
Rukkhsah yang bersifat mandub,misal melakukan qoshar shalat bagi orang musafir.
Rukhsah yang bersifat mubah,seperti jual beli salam.sebenarnyasalah satu rukun jual beli yaitu adanya barang ketika akad dilakukan.namun, karena kebutuhan manusia, ketiadaan barang ketika akad dibolehkan dalam jual beli salam.
Sah dan Batal
Semua perbuatan mukallaf yang dituntut oleh Syari’ dan semua hukum sebab-akibat yang ditetapkannya, bila telah dilakukan oleh mukallaf maka mungkin Syari’ akan menganggap sah atau batal.
Sah sacara terminology bararti tercapai sesuatu yang membarikan pengaruh secara syara’.21 Dengan kata lain jika perbuatn itu sudah dilaksanakan sesuai tuntutan Syari’ danapa yang disyari’atkannya, artinya sudah memenuhi rukun dan syaratnya, maka kemungkinan syari’ menghukumi sah. Menurut Khudhari Beik istilah sah dipakai untuk dua makna.
Menunjukkan tercapainya maksud suatau perbuatan di dunia.
Denagn sah perbuatan itu, seseorang berhak mendapat pahala dari Allah Swt di akhirat.
Semantara batal merupakan lawan dari sah. Jadi batal berarti tidak tercapainya suatu perbuatan yang memberika pengaruh secara syara’. Sebagaimana itilah sah, istilah batal pun digunakan untuk dua makna.
Menjelaskan tidak terwujudnya pengaruh suatu perbuatan di dunia.
Bahwa perbuatan muamalat tidak membawa implikasi pahala di akhirat bagi pelakunya.
Komparasi Ilmu Ushul Fiqh dengan Ilmu Hukum Modern
Sebagaiman yang telah dibahas di atas ilmu ushul fiqh adalah ilmu yang mempelajari tentang kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang cara (metode) pengambilan (penggalian) hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalil syar’i(al-Qur’an dan as-Sunnah). Yang dimana hasil dari ushul fiqh tersebut adalah fiqh. Fiqh yaitu ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan amaliah yng diusahakan memperolehnya dari dalil-dalil yang jelas.22Sehingga sasaran dari fiqh sandiri yaitu :
Penyucian jiwa,agar setiap muslim bisa mnjadi sumber kebaikn bagi masyarakat lingkungan. Hal ini dapat ditempuh dengan berbagai ragam ibadahyang kesemuanya dimaksudkan untuk membersihkan jiwa serta memperkokoh kesetiakawanan social,contohnya shalat. Sebagaimana firman Allah : ank 45
Menegakan keadilan dalam masyarakat Islam, adil baik menyangkut urusan diantara kaum muslimin maupun dalam berhubungan dengan pihak lain (non muslim). Firman Allah Swt :mai8
Merupakan tujuan puncak yang hendak dicapai dan harus terdapat di dalam setiap hukum Islam, yaitu maslahat (kemaslahatan). Maslahat Islamiyyah mengacu pada pemeliharaan terhadap agama, jiwa, akal, harta dan keturunan. Tanpa adanya lima hal tersebut kemuliaan, kemakmuran serta keadilan sulit terwujud.
Sedangkn ilmu hukum mempelajari pengetahuan tentang segala ketentuan yang mengatur dalam segala sesuatu di masyarakat. Hukum modern juga mempunyai tujuan yang sama dengan hukum Islam yaitu mengatur pergaulan hidup manusia secara damai. Perdamaian yang dimaksud adalah perdamaian diantara manusia dengan melindungi kepentingan-kepentingan manusia seperti, kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda, dll dari sesuatu yang merugikan.23 Khususnya pada perlindungan hak di Indonesia telah diatur pada UUD 1945 pada pasal 28. Ciri-ciri hukum modern (umum) :24
Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat.
Peraturan diadakan oleh badan-badan resmi yang terkait.
Bersifat memaksa.
Besanksi tegas.
Simpulan
Sampai pada bagian simpulan ini penulis setelah membahas ilmu ushul fiqh shingga menjadi berbentuk makalah separti di atas kami dapat memberikan kesimpulan :
Ushul fiqh secaraterminologi mempunyai arti kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang cara (metode) pengambilan (penggalian) hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalil syar’i.
Hukum syara’ dibagi menjadi dua, hukum taklifi dan hukum wadh’i. Hukum taklifi dibagi lagi menjadi lima,wajib,mandub, haram, makruh dan mubah. Sedangkan hukumtaklifi dapat terbagi menjadi,sebab, syarat,mani’ (penghalang), ‘azimah dan rukhshah serta sah dan batal.
Ilmu ushul fiqh dan ilmu hukum modern khususnya pada hukum keduanya sebenarnya mempunyai persamaan salah satunya pada tujuan kedua hukum yaitu untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran. Walaupun terdapat perbedaan pada pembuat hukumnya. Pada hukum Islam pembuat hukum (Syari’) adalah Allah dan rasul-Nya,sedangkanpada hukum modern (umum) dibuat oleh badanatau instansi terkait (manusia).
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim
Apeldoorn, Van.2001. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : PT Pradnya Paramita
Firdaus. 2004.Ushul Fiqh metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensip. Jakarta : Zikrul Hakim
Jumantoro, Totok dan Samsul Munur Amin.2005. Kamus Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta : Sinar Grafika Offset
Khallaf,Abdul Wahab. 2003. Ilmu Ushul Fiqh Kaidah Hukum Islam. Jakarta : Pustaka Amani
Zahrah,Muhammad Abu. 2003. Ushul Fiqh. Jakarta : Purtaka Firdaus
Zuhaily, Wahbah. 2006. Ushul Fiqh Islamy. Damaskus : Dar al-Fikr
1 Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Ushul Fiqh,(Jakarta : Amzah, 2005) hal.340
2 Muhammad Abu Zahrah,Ushul Fiqh,(Jakarta : Pustaka Firdaus, 2003), hal. 2
3 Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh Islamy,(Damaskus : Dar al-Fikr, 2006) hal.46
4Firdaus,Ushul fiqh Metode MEngkaji Dan Memahami Hukum IslamSecaraKomprehensip,(Jakarta : Zikrul Hakim, 2006),hal. 239
5 Ibid., hal. 240-244
6Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh Kaidah Hukum Islam,(Jakarta : Pustaka Amani, 2003), hal. 52
7 Firdaus, op.cit., hal. 245-246
8 Ibid., hal. 247
9 Wahbah, op. cit., hal. 98
10 Muhammad Abu Zahrah,op, cit., hal. 69
11 Firdaus, op. cit., hal. 249-250
12 Abdul Wahhab Khallaf, op. cit., hal. 164
13 Muhammad Abu Zahrah, op. cit., hal. 75
14 Firdaus,op.cit., hal. 253
15 Muhammad Abu Zahrah, op.. cit., hal. 79
16 Firdaus, op. cit., hal. 257
17 Totok Jumantoro, op. cit., hal. 32
18 Wahbah Zuhaily, op. cit., hal. 114
19Abdul Wahhab Khallaf, op. cit.,hal. 167
20 Firdaus, op. cit., hal. 260-261
21 Ibid., 265
22Totok Jumantoro, op.cit., hal. 64
23Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum,(Jakarta : PT Pradnya Paramita, 2001), hal.10-11
24 Proses pembelajaran pada mata kuliah Ilmu Hukum semester II 11 Maret 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar