Rabu, 29 April 2009

Penetapan Hukum Masa Khulafaur Rasyidin

Hasil pengumpulan data mahasiswa STAI An-Nawawi
PENETAPAN HUKUM MASA KHULAFA' AR-RASYIDIN


Al-Khulafa al-Rasyidin merupakan primping Islam dari kalangan sahabat, pasca Nabi Muhammad SAW wafat. Mereka merupakan pemimpin yang dipilih langsung oleh para sahabat melalui mekanisme yang demokratis. Siapa yang dipilih, maka sahabat yang lain berhak untuk memberikan bai’at (sumpah setia) pada calon yang terpilih tersebut. Perjalanan empat khalifah akhirnya dipimpin oleh Abu Bakar Shiddiq, Umar Ibn khattab, Usman Ibn Affan, dan Ali Ibn Abi Talib.
Maka dari itu, keempat khalifah tersebut merupakan sahabat-sahabat Nabi yang paling utama. Dalam islam kedaulatan tertinggi ada pada Allah SWT, sehingga para pengganti Nabi tidak memiliki pasilitas yang ekstra dalam ajaran islam untuk menentukan sebuah hukum baru, namun mereka ini termasuk pelaksana hukum yang disandarkan kepada Al-Qur’an dan Hadist serta ijtihad mereka masing-masing.
Maka dari itu pemakalah berusaha ingin membahas suatu ketetapan dan dasar hukum yang digunakan oleh para sahabat (Al-Khulafa al-Rasyidin) untuk menggali hukum.


ditemukan dalam Al-Qur’an ia putuskan menurut Al-Qur’an. Jika tidak ditemukan dalam Al-Qur’an dan ia tahu ada sunnah Rasulullah SAW yang menjelaskan penyelesaiannya, ia putuskan menurut sunnah Rasulullah SAW. Jika Ia tidak mengetahuinya ia kemukakan kepada para sahabat tentang perkara yang diajukan kepadanya tersebut. Jika ada sunnah ia putuskan berdasarkan sunnah. Jika tidak ada sunnah ia kembangkan rujukannya dengan mempelajari putusan Abu Bakar Ash-Shiddiq sebelumnya. Jika tidak ada sunnah ia musyawarah dengan pemuka-pemuka sahabat. Jika mereka mencapai kata sepakat, ia putuskan menurut kesepakatan mereka.1 Merujuk putusan Abu Bakar Ash-Shiddiq tidak selalu berarti menunjukan bahwa putusan Abu Bakar mengikuti Umar Ibn Khattab, namun merupakan satu sikap yang wajar.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa rujukan fatwa atau penetapan hukum yang digali oleh para sahabat ada empat yaitu Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Ijtihad dengan ra’yu.
Penggunaan ra’yu untuk menetapkan suatu hukum tidak dapat dihindari sahabat, mengingat peristiwa-peristiwa baru semakin banyak terjadi, sementara teks-teks Al-Qur’an dan sunnah yang menjadi sumber asasi syariat islam tidak bertambah lagi setelah Rasulullah SAW wafat, sehingga mereka harus menimba berbagai hokum dari sumber tersebut.
Sebagai contoh penetapan hukum pada masa sahabat yang menghasilkan ijtihad-ijtihad mengenai hokum syari’at tentang berbagai kejadian, antara lain :
2
Pemilihan Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai khalifah
Memerangi orang yang enggan untuk membayar zakat
Menentukan ukuran zakat atas jual beli binatang
Faktor-faktor yang memunculkan perbedaan-perbedaan pendapat antara sahabat, antara lain :
Perbedaan dalam memahami maksud ayat Al-Qur’an, karena terdapat dua ayat yang tampaknya bertentangan atau ada dua kata yang mengandung dua pengertian.
Perbedaan perbendaharaan pengetahuan sunnah Nabi SAW.
Perbedaan dalam metode ra’yu seperti qiyas atau lainnya
Meskipun demikian perbedaan-perbedaan pendapat masih kecil karena beberap sebab diantaranya ada perinsip musyawarah, masih terbatasnya riwayat hadist, terbatasnya kejadian baru, dan berhati-hati dalam memberikan fatwa, sehingga mereka tidak mengutamakan lebih tidak berfatwa.
1 Ibid hal.14
2 M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam (Yogyakarta : Pustaka Book Publiser ), hal. 78

Sumber Hukum yang digunakan Pada Masa Al-Khulafa al-Rasyidin
Dapat kita ketahui bahwa para sahabat Nabi SAW dalam menyandarkan suatu hukum mereka menggunakan Al-Qur’an, Sunnah, Ijma, dan Ijtihad dengan ra’yu. Tetapi pengertian ijtihad dengan ra’yu dikalangan sahabat para adalah pengarahan maksimal kemampuan untuk membahas hukum syari’at tentang suatu kejadian yang tidak diterangkan hukumnya secara jelas dalam Al-Qur’an atau As-Sunnah dengan menggunakan akal pikiran.
1
Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan oleh Allah dengan perantaraan malaikat jibril kedalam hati Rasulullah Muhammad SAW bin Abdullah dengan lafal Arab dan makna yang pasti sebagai bukti bagi Rasulullah bahwasannya dia adalah utusan Allah, sebagai undang-undang sekaligus manusia, dan sarana pendekatan (seorang hamba kepada tuhannya ) sekaligus sebagai ibadah ketika dibaca.
Alasan bahwa Al-Qur’an adalah hujjah bagi umat manusia dan hukum yang dikandungnya adalah undang-undang yang harus ditaati ialah karena Al-Qur’an diturunkan langsung dari Allah dengan cara yang pasti, tidak diragukan lagi kebenarannya. Sedangkan alasan Al-Qur’an diturunkan langsung dari Allah adalah I’jaz (melemahkan), yang berarti ketidakmampuan manusia untuk membuat seperti Al-Qur’an.
2
As-Sunnah
As-Sunnah menurut istilah syara’ adalah ucapan, perbuatan atau pengakuan Rasulullah SAW. Dan umat Islam sepakat bahwa ucapan, perbuatan dan penetapan Rasulullah yang mengarah pada hukum atau tuntutan dan sampai kepada kita dengan sanad yang sahih, yang dapat mendatangkan kepastian atau dugaan kuat atas kebenarannya adalah hujjah bagi umat Islam. Ia adalah sumber yang digunakan oleh para mujtahid untuk menetapkan hukum syara’ atas perbuatan orang-orang mukallaf. Artinya hukum yang terkandung di dalam As-Sunnah sejalan dengan hukum yang terkandung dalam Al-Qur,an adalah undang-undang yang harus di ikuti.
Sedangkan bukti atas kekuatan As-Sunnah sebagai hujjah adalah :
Nash-nash Al-Qur’an. Karena Allah sering kali dalam ayat-ayat al-qur’an memerintahkan untuk taat kepada Rasulnya, menjadikan taat kepada Rasul sebagai bukti ketaatan kepadanya.
Kesepakatan para sahabat Nabi baik semasa hidup maupun sepeninggalan Rasulullah SAW. akan kewajiban mengikuti sunnah Rasul. Demikian juga pada saat Rasulullah telah wafat, bila mereka tidak menemukan hukum atas sesuatu yang terjadi kepada mereka, maka diputuskan dengan merujuk kepada sunnah Rasulullah. Sebagai contoh ketika Abu Bakar tidak hafal sunnah mengenai suatu kejadian, dia bertanya kepada umat Islam,” Apakah diantara kalian ada yang hafal sunnah dari Nabi kita mengenai kejadian ini? Demikian juga yang dilakukan oleh Umar.
Allah Swt. Dalam Al-Qur’an telah menetapkan berbagai kewajiban yang masih bersifat global, dalam artian hukum tersebut dan petunjuk pelaksanaannya tidak terperinci.
3
Ijma’
Ijma’ menurut bahasa Arab berarti kesepakatan atau sependapat tentang suatu hal, seperti firman Allah Swt :” Maka ketika mereka membawanya dan sepakat”.
4 Sedangkan Ajma’ secara etimologi, dapat diartikan dengan ketetapan hati untuk melakukan sesuatu. Pengertian ini dapat dilihat dalam Q.S yunus ayat 71.
Ijma’ adalah suatu konsensus mengenai permasalahan hukum islam baik dinyatakan secara diam maupun secara nyata dalam hal ini ulama ushul fiqh memberikan pengertian bahwa ijma’ adalah kesepakatan seluruh mujtahid dikalangan umat Islam pada suatu masa setelah Rasulullah Saw wafat atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian.
5
Sedangkan Ijma’ Khulafaur Rasyidin adalah persesuaian paham khalifah yang empat terhadap suatu soal yang diambil dalam satu masa, atas suatu hukum. Ijma’ ini dapat sebagai hujjah dengan alasan Hadist Nabi SAW yaitu :” Berpegang eratlah kamu dengan sunnahku dan dengan sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku.6 (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Turmudzi). Ijma’ yamg dilakukan oleh keempat sahabat nabi ini menjadi sandaran hukum dalam menyelesaikan permasalahan agama.7
Ijtihad Bir-Ra’yu8
Ijtihad ialah :
“Mengerahkan seluruh kemampuan dalam menggali suatu hukum syara’ dengan melalui upaya istinbath (penggalian hukum) dengan dasar Al-Qur’an dan sunnah”.
9
Untuk mengenal metode ra’yu, berikut ini beberapa metode yang digunakan dalam menggali suatu hukum oleh para sahabat yaitu :
Qiyas
Ketika para sahabat akan mengetahui hukum suatu kejadian tentu ia akan meneliti apakah dalam Al-Qur’an terdapat nash (teks) yang menjelaskan hukumnya? Jika tidak ada, ia meneliti apakah dalam sunnah terdapat nash (teks) yang menjelaskan hukumnya? Jika tidak ada, ia meneliti apakah terdapat Ijma’ yang telah menetapkan hukumnya? Jika tidak ada, ia akan meneliti apakah ia dapat menetapkan hukumnya dengan qiyas. Artinya qiyas hanya dapat diterapkan pada sesuatu yang mempunyai ilat, misalnya mengiaskan padi pada kurmadari segi wajib mengeluarkan zakatnya, karena persamaan ilatnya yaitu sebagai bahan makanan pokok.
Maslahah mursalah
Maslahah mursalah adalah manfaat-manfaat yang seirama dengan tujuan Allah ta’ala (pembuat hukum), akan tetapi tidak terdapat dalil (argumen) khusus yang menjelaskan bahwa manfaat tersebut diakui atau tidak diakui oleh Allah ta’ala (pembuat hukum). Dengan mengaitkan hukum dengan manfa’at tersebut, maka akan dapat diwujudkan kemaslahatan bagi manusia atau dapat dihindarkan keburukan dari manusia.
‘Urf
‘Urf ialah kebiasaan masyarakat, baik perbuatan maupun ucapan (bahasa).
1 Muhammad Anwar Ibrahim, Philoshopy Of Islamic Law Of Transaktion, (Bandung : CIFA, 2001), hal. 26
2 Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta : Pustaka Amani, 2003), hal. 17
3 Ibid hal.39-43
4 QS. Yusuf (12): 15
5 Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, (Yogyakarta : AMZAH, 2005), hal.103
6 HR. Ahmad, Abu Daud dan Turmudzi
7 Ibid hal. 106
8 Ibid hal. 27-29
9 Abdul Hanid Hakim, Mabadiul Awwaliyah, (jakarta : Maktabah Sa’diyah Putra), hal. 20

Tidak ada komentar:

Posting Komentar