Rabu, 13 Mei 2009

Ilmu Hadist


ILMU HADITS

Ilmu secara bahasa berarti memahami sesuatu, ilmu disini berarti memahami sesuatu secara keseluruhan sedangkan ma'rifat adalah memahami secara bagian-bagiannya.
Hadits. Secara bahasa berarti baru, sedangkan secara istilah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik ucapan, perbuatan, ketetapan dan sifat pribadinya dan juga disandarkan kepada para sahabat dan tabi'in.
Hadits yang disandarkan kepada sahabat namanya hadits mauquf sedangkan hadits yang disandarkan kepada tabi'in namanya hadits maqthuu'.

Jadi ilmu hadits disini berarti ilmu yang mempelajari tentang sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw,dan para ahli hadits membagi pembahasan ilmu hadits ini kepada dua cabang yaitu ilmu hadits riwayah dan ilmu hadits dirayah.

1. Ilmu Hadist Riwayah : Ilmu yang meliputi pemindahan (periwayatan) perkataan Nabi saw, dan perbuatannya serta periwatannya, pencatatannya dan penguraian lafaz-lafaznya. Nah, objek kajian ilmu hadist riwayah ini meliputi cara periwayatan hadist, baik dari sisi cara penerimaan dan juga cara penyampaiannya dari seorang rawi ke rawi lainnya. Dan cara pemeliharaan hadist, baik dari segi penghapalannya dan kodifikasinya.

2. Ilmu Hadis Dirayah. Ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara menerima dan menyampaikan hadis, sifat rawi, dan lain-lain.
Ilmu hadis riwayah bertujuan untuk memelihara hadis Nabi SAW dari kesalahan dalam proses periwayatan atau dalam hal penulisan dan pembukuannya. Lebih lanjut ilmu ini juga bertujuan agar umat Islam menjadikan Nabi SAW sebagai suri teladan melalui pemahaman terhadap riwayat yang berasal darinya dan mengamalkannya. Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah al-Ahzab (33) ayat 21 yang artinya: "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu "
Ilmu hadist dirayah bertujuan untuk mengetahui hukum keadaan para perawi dan jenis yang diriwayatkan. Tujuan ilmu ini untuk mengetahui dan menetapkan hadist-hadist itu maqbul (diterima) atau mardud (ditolak).

Kajian dari ilmu dirayah ini adalah sanad dan matan yang terkandung di dalamnya yang mempengaruhi kualitas hadits. Kajian yang besangkutan dengan masalah-masalah sanad disebut naqd-as sanad (kritik sanad) atau kritik ekstern karena yang dibahas adalah akurasi dari jalur periwayatan. Sedangkan kajian yang bersangkutan dengan masalah matan di sebut naqd al-matan (kritik matan) atau kritik intern karena yang di bahas adalah materi hadits itu sendiri.
Ilmu Hadis Riwayah ini sudah ada sejak periode Rasulunah SAW sendiri, bersamaan dengan dimulainya periwayatan hadis itu sendiri. Sebagaimana diketahui, para sahabat menaruh perhatian yang tinggi terhadap hadis Nabi SAW. Mereka berupaya mendapatkannya dengan menghadiri majelis Rasulullah SAW serta mendengar dan menyimak pesan atau nasihat yang disampaikan Nabi SAW.

Mereka juga memperhatikan dengan seksama apa yang dilakukan Rasulullah SAW, baik dalam beribadah maupun dalam aktivitas sosial, dan akhlak Nabi SAW sehari-hari. Semua itu mereka pahami dengan baik dan mereka pelihara melalui hafalan mereka. Selanjutnya mereka menyampaikannya dengan sangat hati-hati kepada sahabat lain atau tabiin. Para tabiin pun melakukan hal yang sama, memahami hadis, memeliharanya, dan menyampaikannya kepada tabiin lain atau tabi'ut- tabi'in (generasi sesudah tabiin).

Demikianlah periwayatan dan pemeliharaan hadis Nabi SAW berlangsung hingga usaha penghimpunan yang dipelopori oleh Az-Zuhri ( Ulama yang disuruh oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz r.a, nama aslinya Abu Bakar Muhammad Asy-Ayihab Az Zuhri hidup thn 51-124 H). Usaha penghimpunan, penyeleksian, penulisan, dan pembukuan hadis secara besar-besaran dilakukan oleh ulama hadis pada abad ke-3 H, seperti Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam at-Tirmizi, dan ulama- ulama hadis lainnya melalui kitab hadis masing-masing.

Dengan dibukukannya hadis Nabi SAW dan selanjutnya dijadikan rujukan oleh ulama yang datang kemudian, maka pada periode selanjutnya ilmu hadis riwayah tidak lagi banyak berkembang. Berbeda halnya dengan ilmu hadis dirayah yang senantiasa berkembang dan melahirkan berbagai cabang ilmu hadis. Oleh karena itu, pada umumnya yang dibicarakan oleh ulama hadis dalam kitab-kitab ulumul hadis yang mereka susun adalah ilmu hadis dirayah. Dalam perkembangannya, istilah ulumul hadis menjadi sinonim bagi ilmu hadis dirayah. Selain itu, ilmu hadis dirayah disebut juga mustalahu al-hadits (ilmu peristilahan hadis) atau 'ilm usul al-hadis (ilmu dasar hadis).
dari:ilmu hadist

Ilmu Hadist


ILMU HADITS

Ilmu secara bahasa berarti memahami sesuatu, ilmu disini berarti memahami sesuatu secara keseluruhan sedangkan ma'rifat adalah memahami secara bagian-bagiannya.
Hadits. Secara bahasa berarti baru, sedangkan secara istilah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik ucapan, perbuatan, ketetapan dan sifat pribadinya dan juga disandarkan kepada para sahabat dan tabi'in.
Hadits yang disandarkan kepada sahabat namanya hadits mauquf sedangkan hadits yang disandarkan kepada tabi'in namanya hadits maqthuu'.
Jadi ilmu hadits disini berarti ilmu yang mempelajari tentang sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw,dan para ahli hadits membagi pembahasan ilmu hadits ini kepada dua cabang yaitu ilmu hadits riwayah dan ilmu hadits dirayah.
1. Ilmu Hadist Riwayah : Ilmu yang meliputi pemindahan (periwayatan) perkataan Nabi saw, dan perbuatannya serta periwatannya, pencatatannya dan penguraian lafaz-lafaznya. Nah, objek kajian ilmu hadist riwayah ini meliputi cara periwayatan hadist, baik dari sisi cara penerimaan dan juga cara penyampaiannya dari seorang rawi ke rawi lainnya. Dan cara pemeliharaan hadist, baik dari segi penghapalannya dan kodifikasinya.
2. Ilmu Hadis Dirayah. Ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara menerima dan menyampaikan hadis, sifat rawi, dan lain-lain.
Ilmu hadis riwayah bertujuan untuk memelihara hadis Nabi SAW dari kesalahan dalam proses periwayatan atau dalam hal penulisan dan pembukuannya. Lebih lanjut ilmu ini juga bertujuan agar umat Islam menjadikan Nabi SAW sebagai suri teladan melalui pemahaman terhadap riwayat yang berasal darinya dan mengamalkannya. Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah al-Ahzab (33) ayat 21 yang artinya: "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu "
Ilmu hadist dirayah bertujuan untuk mengetahui hukum keadaan para perawi dan jenis yang diriwayatkan. Tujuan ilmu ini untuk mengetahui dan menetapkan hadist-hadist itu maqbul (diterima) atau mardud (ditolak).
Kajian dari ilmu dirayah ini adalah sanad dan matan yang terkandung di dalamnya yang mempengaruhi kualitas hadits. Kajian yang besangkutan dengan masalah-masalah sanad disebut naqd-as sanad (kritik sanad) atau kritik ekstern karena yang dibahas adalah akurasi dari jalur periwayatan. Sedangkan kajian yang bersangkutan dengan masalah matan di sebut naqd al-matan (kritik matan) atau kritik intern karena yang di bahas adalah materi hadits itu sendiri.
Ilmu Hadis Riwayah ini sudah ada sejak periode Rasulunah SAW sendiri, bersamaan dengan dimulainya periwayatan hadis itu sendiri. Sebagaimana diketahui, para sahabat menaruh perhatian yang tinggi terhadap hadis Nabi SAW. Mereka berupaya mendapatkannya dengan menghadiri majelis Rasulullah SAW serta mendengar dan menyimak pesan atau nasihat yang disampaikan Nabi SAW.
Mereka juga memperhatikan dengan seksama apa yang dilakukan Rasulullah SAW, baik dalam beribadah maupun dalam aktivitas sosial, dan akhlak Nabi SAW sehari-hari. Semua itu mereka pahami dengan baik dan mereka pelihara melalui hafalan mereka. Selanjutnya mereka menyampaikannya dengan sangat hati-hati kepada sahabat lain atau tabiin. Para tabiin pun melakukan hal yang sama, memahami hadis, memeliharanya, dan menyampaikannya kepada tabiin lain atau tabi'ut- tabi'in (generasi sesudah tabiin).
Demikianlah periwayatan dan pemeliharaan hadis Nabi SAW berlangsung hingga usaha penghimpunan yang dipelopori oleh Az-Zuhri ( Ulama yang disuruh oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz r.a, nama aslinya Abu Bakar Muhammad Asy-Ayihab Az Zuhri hidup thn 51-124 H). Usaha penghimpunan, penyeleksian, penulisan, dan pembukuan hadis secara besar-besaran dilakukan oleh ulama hadis pada abad ke-3 H, seperti Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam at-Tirmizi, dan ulama- ulama hadis lainnya melalui kitab hadis masing-masing.
Dengan dibukukannya hadis Nabi SAW dan selanjutnya dijadikan rujukan oleh ulama yang datang kemudian, maka pada periode selanjutnya ilmu hadis riwayah tidak lagi banyak berkembang. Berbeda halnya dengan ilmu hadis dirayah yang senantiasa berkembang dan melahirkan berbagai cabang ilmu hadis. Oleh karena itu, pada umumnya yang dibicarakan oleh ulama hadis dalam kitab-kitab ulumul hadis yang mereka susun adalah ilmu hadis dirayah. Dalam perkembangannya, istilah ulumul hadis menjadi sinonim bagi ilmu hadis dirayah. Selain itu, ilmu hadis dirayah disebut juga mustalahu al-hadits (ilmu peristilahan hadis) atau 'ilm usul al-hadis (ilmu dasar hadis).

Rabu, 29 April 2009

Imam Syafi'i

Mazhab Syafi'i (bahasa Arab: شافعية , Syaf'iyah) adalah mazhab fiqih yang dicetuskan oleh Muhammad bin Idris asy-Syafi'i atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Syafi'i. Mazhab ini kebanyakan dianut para penduduk Mesir bawah, Arab Saudi bagian barat, Suriah, Indonesia, Malaysia, Brunei, pantai Koromandel, Malabar, Hadramaut, dan Bahrain.



Sejarah
Pemikiran fiqh mazhab ini diawali oleh Imam Syafi'i, yang hidup di zaman pertentangan antara aliran Ahlul Hadits (cenderung berpegang pada teks hadist) dan Ahlur Ra'yi (cenderung berpegang pada akal pikiran atau ijtihad). Imam Syafi'i belajar kepada Imam Malik sebagai tokoh Ahlul Hadits, dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani sebagai tokoh Ahlur Ra'yi yang juga murid Imam Abu Hanifah. Imam Syafi'i kemudian merumuskan aliran atau mazhabnya sendiri, yang dapat dikatakan berada di antara kedua kelompok tersebut. Imam Syafi'i menolak Istihsan dari Imam Abu Hanifah maupun Mashalih Mursalah dari Imam Malik. Namun demikian Mazhab Syafi'i menerima penggunaan qiyas secara lebih luas ketimbang Imam Malik. Meskipun berbeda dari kedua aliran utama tersebut, keunggulan Imam Syafi'i sebagai ulama fiqh, ushul fiqh, dan hadits di zamannya membuat mazhabnya memperoleh banyak pengikut; dan kealimannya diakui oleh berbagai ulama yang hidup sezaman dengannya.

Dasar-dasar
Dasar-dasar Mazhab Syafi'i dapat dilihat dalam kitab ushul fiqh Ar-Risalah dan kitab fiqh al-Umm. Di dalam buku-buku tersebut Imam Syafi'i menjelaskan kerangka dan prinsip mazhabnya serta beberapa contoh merumuskan hukum far'iyyah (yang bersifat cabang). Dasar-dasar mazhab yang pokok ialah berpegang pada hal-hal berikut.
Al-Quran, tafsir secara lahiriah, selama tidak ada yang menegaskan bahwa yang dimaksud bukan arti lahiriahnya. Imam Syafi'i pertama sekali selalu mencari alasannya dari Al-Qur'an dalam menetapkan hukum Islam.
Sunnah dari Rasulullah SAW kemudian digunakan jika tidak ditemukan rujukan dari Al-Quran. Imam Syafi'i sangat kuat pembelaannya terhadap sunnah sehingga dijuluki Nashir As-Sunnah (pembela Sunnah Nabi).
Ijma' atau kesepakatan para Sahabat Nabi, yang tidak terdapat perbedaan pendapat dalam suatu masalah. Ijma' yang diterima Imam Syafi'i sebagai landasan hukum adalah ijma' para sahabat, bukan kesepakatan seluruh mujtahid pada masa tertentu terhadap suatu hukum; karena menurutnya hal seperti ini tidak mungkin terjadi.
Qiyas yang dalam Ar-Risalah disebut sebagai ijtihad, apabila dalam ijma' tidak juga ditemukan hukumnya. Akan tetapi Imam Syafi'i menolak dasar istihsan dan istislah sebagai salah satu cara menetapkan hukum Islam.
Lihat pula: Ijtihad

Qaul Qadim dan Qaul Jadid
Imam Syafi'i pada awalnya pernah tinggal menetap di Baghdad. Selama tinggal di sana ia mengeluarkan ijtihad-ijtihadnya, yang biasa disebut dengan istilah Qaul Qadim ("pendapat yang lama").
Ketika kemudian pindah ke Mesir karena munculnya aliran Mu’tazilah yang telah berhasil mempengaruhi kekhalifahan, ia melihat kenyataan dan masalah yang berbeda dengan yang sebelumnya ditemui di Baghdad. Ia kemudian mengeluarkan ijtihad-ijtihad baru yang berbeda, yang biasa disebut dengan istilah Qaul Jadid ("pendapat yang baru").
Imam Syafi'i berpendapat bahwa tidak semua qaul jadid menghapus qaul qadim. Jika tidak ditegaskan penggantiannya dan terdapat kondisi yang cocok, baik dengan qaul qadim ataupun dengan qaul jadid, maka dapat digunakan salah satunya. Dengan demikian terdapat beberapa keadaan yang memungkinkan kedua qaul tersebut dapat digunakan, dan keduanya tetap dianggap berlaku oleh para pemegang Mazhab Syafi'i.

Penyebaran
Penyebar-luasan pemikiran Mazhab Syafi'i berbeda dengan Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki, yang banyak dipengaruhi oleh kekuasaan kekhalifahan. Pokok pikiran dan prinsip dasar Mazhab Syafi'i terutama disebar-luaskan dan dikembangkan oleh para muridnya. Murid-murid utama Imam Syafi'i di Mesir, yang menyebar-luaskan dan mengembangkan Mazhab Syafi'i pada awalnya adalah:
Yusuf bin Yahya al-Buwaiti (w. 846)
Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w. 878)
Ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (w. 884)
Imam Ahmad bin Hanbal yang terkenal sebagai ulama hadits terkemuka dan pendiri fiqh Mazhab Hambali, juga pernah belajar kepada Imam Syafi'i. Selain itu, masih banyak ulama-ulama yang terkemudian yang mengikuti dan turut menyebarkan Mazhab Syafi'i, antara lain:
Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari
Imam Bukhari
Imam Muslim
Imam Nasa'i
Imam Baihaqi
Imam Turmudzi
Imam Ibnu Majah
Imam Tabari
Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani
Imam Abu Daud
Imam Nawawi
Imam as-Suyuti
Imam Ibnu Katsir
Imam adz-Dzahabi
Imam al-Hakim

Peninggalan
Imam Syafi'i terkenal sebagai perumus pertama metodologi hukum Islam. Ushul fiqh (atau metodologi hukum Islam), yang tidak dikenal pada masa Nabi dan sahabat, baru lahir setelah Imam Syafi'i menulis Ar-Risalah. Mazhab Syafi'i umumnya dianggap sebagai mazhab yang paling konservatif di antara mazhab-mazhab fiqh Sunni lainnya. Dari mazhab ini berbagai ilmu keislaman telah bersemi berkat dorongan metodologi hukum Islam yang dikembangkan para pendukungnya.
Karena metodologinya yang sistematis dan tingginya tingkat ketelitian yang dituntut oleh Mazhab Syafi'i, terdapat banyak sekali ulama dan penguasa di dunia Islam yang menjadi pendukung setia mazhab ini. Di antara mereka bahkan ada pula yang menjadi pakar terhadap keseluruhan mazhab-mazhab Sunni di bidang mereka masing-masing. Saat ini, Mazhab Syafi'i diperkirakan diikuti oleh 28% umat Islam sedunia, dan merupakan mazhab terbesar kedua dalam hal jumlah pengikut setelah Mazhab Hanafi.

Referensi
Abu Zahrah, Muhammad, Imam Syafi'i: Biografi dan Pemikirannya dalam Masalah Akidah, Politik & Fiqih, Penerjamah: Abdul Syukur dan Ahmad Rivai Uthman, Penyunting: Ahmad Hamid Alatas, Cet.2 (Jakarta: Lentera, 2005).
Al-Qaththan, Syaikh Manna', Pengantar Studi Ilmu Al-Qur'an, Penerjemah: H. Aunur Rafiq El-Mazni, Lc., MA., Penyunting: Abduh Zulfidar Akaha, Lc., Cet.1 (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006).
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Ed.1, Cet.12 (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001).
Imam Muslim, Terjemah Hadits Shahih Muslim, Penerjemah: Ahmad Sunarto (Bandung: Penerbit "Husaini" Bandung, 2002).
Al Imam Al Bukhari, Terjemah Hadits Shahih Bukhari, Penerjemah: Umairul Ahbab Baiquni dan Ahmad Sunarto (Bandung: Penerbit "Husaini" Bandung, tanpa tahun).
Diunduh dari wikipedia.

Penetapan Hukum Masa Khulafaur Rasyidin

Hasil pengumpulan data mahasiswa STAI An-Nawawi
PENETAPAN HUKUM MASA KHULAFA' AR-RASYIDIN


Al-Khulafa al-Rasyidin merupakan primping Islam dari kalangan sahabat, pasca Nabi Muhammad SAW wafat. Mereka merupakan pemimpin yang dipilih langsung oleh para sahabat melalui mekanisme yang demokratis. Siapa yang dipilih, maka sahabat yang lain berhak untuk memberikan bai’at (sumpah setia) pada calon yang terpilih tersebut. Perjalanan empat khalifah akhirnya dipimpin oleh Abu Bakar Shiddiq, Umar Ibn khattab, Usman Ibn Affan, dan Ali Ibn Abi Talib.
Maka dari itu, keempat khalifah tersebut merupakan sahabat-sahabat Nabi yang paling utama. Dalam islam kedaulatan tertinggi ada pada Allah SWT, sehingga para pengganti Nabi tidak memiliki pasilitas yang ekstra dalam ajaran islam untuk menentukan sebuah hukum baru, namun mereka ini termasuk pelaksana hukum yang disandarkan kepada Al-Qur’an dan Hadist serta ijtihad mereka masing-masing.
Maka dari itu pemakalah berusaha ingin membahas suatu ketetapan dan dasar hukum yang digunakan oleh para sahabat (Al-Khulafa al-Rasyidin) untuk menggali hukum.


ditemukan dalam Al-Qur’an ia putuskan menurut Al-Qur’an. Jika tidak ditemukan dalam Al-Qur’an dan ia tahu ada sunnah Rasulullah SAW yang menjelaskan penyelesaiannya, ia putuskan menurut sunnah Rasulullah SAW. Jika Ia tidak mengetahuinya ia kemukakan kepada para sahabat tentang perkara yang diajukan kepadanya tersebut. Jika ada sunnah ia putuskan berdasarkan sunnah. Jika tidak ada sunnah ia kembangkan rujukannya dengan mempelajari putusan Abu Bakar Ash-Shiddiq sebelumnya. Jika tidak ada sunnah ia musyawarah dengan pemuka-pemuka sahabat. Jika mereka mencapai kata sepakat, ia putuskan menurut kesepakatan mereka.1 Merujuk putusan Abu Bakar Ash-Shiddiq tidak selalu berarti menunjukan bahwa putusan Abu Bakar mengikuti Umar Ibn Khattab, namun merupakan satu sikap yang wajar.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa rujukan fatwa atau penetapan hukum yang digali oleh para sahabat ada empat yaitu Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Ijtihad dengan ra’yu.
Penggunaan ra’yu untuk menetapkan suatu hukum tidak dapat dihindari sahabat, mengingat peristiwa-peristiwa baru semakin banyak terjadi, sementara teks-teks Al-Qur’an dan sunnah yang menjadi sumber asasi syariat islam tidak bertambah lagi setelah Rasulullah SAW wafat, sehingga mereka harus menimba berbagai hokum dari sumber tersebut.
Sebagai contoh penetapan hukum pada masa sahabat yang menghasilkan ijtihad-ijtihad mengenai hokum syari’at tentang berbagai kejadian, antara lain :
2
Pemilihan Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai khalifah
Memerangi orang yang enggan untuk membayar zakat
Menentukan ukuran zakat atas jual beli binatang
Faktor-faktor yang memunculkan perbedaan-perbedaan pendapat antara sahabat, antara lain :
Perbedaan dalam memahami maksud ayat Al-Qur’an, karena terdapat dua ayat yang tampaknya bertentangan atau ada dua kata yang mengandung dua pengertian.
Perbedaan perbendaharaan pengetahuan sunnah Nabi SAW.
Perbedaan dalam metode ra’yu seperti qiyas atau lainnya
Meskipun demikian perbedaan-perbedaan pendapat masih kecil karena beberap sebab diantaranya ada perinsip musyawarah, masih terbatasnya riwayat hadist, terbatasnya kejadian baru, dan berhati-hati dalam memberikan fatwa, sehingga mereka tidak mengutamakan lebih tidak berfatwa.
1 Ibid hal.14
2 M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam (Yogyakarta : Pustaka Book Publiser ), hal. 78

Sumber Hukum yang digunakan Pada Masa Al-Khulafa al-Rasyidin
Dapat kita ketahui bahwa para sahabat Nabi SAW dalam menyandarkan suatu hukum mereka menggunakan Al-Qur’an, Sunnah, Ijma, dan Ijtihad dengan ra’yu. Tetapi pengertian ijtihad dengan ra’yu dikalangan sahabat para adalah pengarahan maksimal kemampuan untuk membahas hukum syari’at tentang suatu kejadian yang tidak diterangkan hukumnya secara jelas dalam Al-Qur’an atau As-Sunnah dengan menggunakan akal pikiran.
1
Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan oleh Allah dengan perantaraan malaikat jibril kedalam hati Rasulullah Muhammad SAW bin Abdullah dengan lafal Arab dan makna yang pasti sebagai bukti bagi Rasulullah bahwasannya dia adalah utusan Allah, sebagai undang-undang sekaligus manusia, dan sarana pendekatan (seorang hamba kepada tuhannya ) sekaligus sebagai ibadah ketika dibaca.
Alasan bahwa Al-Qur’an adalah hujjah bagi umat manusia dan hukum yang dikandungnya adalah undang-undang yang harus ditaati ialah karena Al-Qur’an diturunkan langsung dari Allah dengan cara yang pasti, tidak diragukan lagi kebenarannya. Sedangkan alasan Al-Qur’an diturunkan langsung dari Allah adalah I’jaz (melemahkan), yang berarti ketidakmampuan manusia untuk membuat seperti Al-Qur’an.
2
As-Sunnah
As-Sunnah menurut istilah syara’ adalah ucapan, perbuatan atau pengakuan Rasulullah SAW. Dan umat Islam sepakat bahwa ucapan, perbuatan dan penetapan Rasulullah yang mengarah pada hukum atau tuntutan dan sampai kepada kita dengan sanad yang sahih, yang dapat mendatangkan kepastian atau dugaan kuat atas kebenarannya adalah hujjah bagi umat Islam. Ia adalah sumber yang digunakan oleh para mujtahid untuk menetapkan hukum syara’ atas perbuatan orang-orang mukallaf. Artinya hukum yang terkandung di dalam As-Sunnah sejalan dengan hukum yang terkandung dalam Al-Qur,an adalah undang-undang yang harus di ikuti.
Sedangkan bukti atas kekuatan As-Sunnah sebagai hujjah adalah :
Nash-nash Al-Qur’an. Karena Allah sering kali dalam ayat-ayat al-qur’an memerintahkan untuk taat kepada Rasulnya, menjadikan taat kepada Rasul sebagai bukti ketaatan kepadanya.
Kesepakatan para sahabat Nabi baik semasa hidup maupun sepeninggalan Rasulullah SAW. akan kewajiban mengikuti sunnah Rasul. Demikian juga pada saat Rasulullah telah wafat, bila mereka tidak menemukan hukum atas sesuatu yang terjadi kepada mereka, maka diputuskan dengan merujuk kepada sunnah Rasulullah. Sebagai contoh ketika Abu Bakar tidak hafal sunnah mengenai suatu kejadian, dia bertanya kepada umat Islam,” Apakah diantara kalian ada yang hafal sunnah dari Nabi kita mengenai kejadian ini? Demikian juga yang dilakukan oleh Umar.
Allah Swt. Dalam Al-Qur’an telah menetapkan berbagai kewajiban yang masih bersifat global, dalam artian hukum tersebut dan petunjuk pelaksanaannya tidak terperinci.
3
Ijma’
Ijma’ menurut bahasa Arab berarti kesepakatan atau sependapat tentang suatu hal, seperti firman Allah Swt :” Maka ketika mereka membawanya dan sepakat”.
4 Sedangkan Ajma’ secara etimologi, dapat diartikan dengan ketetapan hati untuk melakukan sesuatu. Pengertian ini dapat dilihat dalam Q.S yunus ayat 71.
Ijma’ adalah suatu konsensus mengenai permasalahan hukum islam baik dinyatakan secara diam maupun secara nyata dalam hal ini ulama ushul fiqh memberikan pengertian bahwa ijma’ adalah kesepakatan seluruh mujtahid dikalangan umat Islam pada suatu masa setelah Rasulullah Saw wafat atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian.
5
Sedangkan Ijma’ Khulafaur Rasyidin adalah persesuaian paham khalifah yang empat terhadap suatu soal yang diambil dalam satu masa, atas suatu hukum. Ijma’ ini dapat sebagai hujjah dengan alasan Hadist Nabi SAW yaitu :” Berpegang eratlah kamu dengan sunnahku dan dengan sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku.6 (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Turmudzi). Ijma’ yamg dilakukan oleh keempat sahabat nabi ini menjadi sandaran hukum dalam menyelesaikan permasalahan agama.7
Ijtihad Bir-Ra’yu8
Ijtihad ialah :
“Mengerahkan seluruh kemampuan dalam menggali suatu hukum syara’ dengan melalui upaya istinbath (penggalian hukum) dengan dasar Al-Qur’an dan sunnah”.
9
Untuk mengenal metode ra’yu, berikut ini beberapa metode yang digunakan dalam menggali suatu hukum oleh para sahabat yaitu :
Qiyas
Ketika para sahabat akan mengetahui hukum suatu kejadian tentu ia akan meneliti apakah dalam Al-Qur’an terdapat nash (teks) yang menjelaskan hukumnya? Jika tidak ada, ia meneliti apakah dalam sunnah terdapat nash (teks) yang menjelaskan hukumnya? Jika tidak ada, ia meneliti apakah terdapat Ijma’ yang telah menetapkan hukumnya? Jika tidak ada, ia akan meneliti apakah ia dapat menetapkan hukumnya dengan qiyas. Artinya qiyas hanya dapat diterapkan pada sesuatu yang mempunyai ilat, misalnya mengiaskan padi pada kurmadari segi wajib mengeluarkan zakatnya, karena persamaan ilatnya yaitu sebagai bahan makanan pokok.
Maslahah mursalah
Maslahah mursalah adalah manfaat-manfaat yang seirama dengan tujuan Allah ta’ala (pembuat hukum), akan tetapi tidak terdapat dalil (argumen) khusus yang menjelaskan bahwa manfaat tersebut diakui atau tidak diakui oleh Allah ta’ala (pembuat hukum). Dengan mengaitkan hukum dengan manfa’at tersebut, maka akan dapat diwujudkan kemaslahatan bagi manusia atau dapat dihindarkan keburukan dari manusia.
‘Urf
‘Urf ialah kebiasaan masyarakat, baik perbuatan maupun ucapan (bahasa).
1 Muhammad Anwar Ibrahim, Philoshopy Of Islamic Law Of Transaktion, (Bandung : CIFA, 2001), hal. 26
2 Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta : Pustaka Amani, 2003), hal. 17
3 Ibid hal.39-43
4 QS. Yusuf (12): 15
5 Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, (Yogyakarta : AMZAH, 2005), hal.103
6 HR. Ahmad, Abu Daud dan Turmudzi
7 Ibid hal. 106
8 Ibid hal. 27-29
9 Abdul Hanid Hakim, Mabadiul Awwaliyah, (jakarta : Maktabah Sa’diyah Putra), hal. 20

Selasa, 28 April 2009

Pembinaan Hukum Periode Mazhab serta Perdebatan Hukum Islam antara Kaum Kasionalis Tekstualis dan Moderat


Pembinaan Hukum Periode Mazhab serta Perdebatan Hukum Islam antara Kaum Kasionalis Tekstualis dan Moderat

Pembinaan hukum pada periode mazhab

1 Al –Imam Abu Hanifah r.a.
Al-imam Abu Hanifah ialah : An-Nu’man tsabit Ataimi, dalahirkan di kufah pada tahun 80 Hijriah (699 M). Setalah permulaan abad ke dua hijriah beliau belajar fiqih pada Hammad Ibnu Abi sulaiman. Dan beliau banyak mendengar hadist dari ulama’-ulama’ hadist seperti :Atha’ Ibnu Rabiah dan nafi’ Maulana Ibnu umar
Adapun dasar –dasar mazhab Abu Hanifah ,kita dapat memahami dari cara beliau beristimbat dari tuturan beliau sendiri. Beliau berkata” saya berpegang pada kitabullah apabila saya mendapatinya. Sesuatu yang tidak saya dapati didalamnya, saya memakai sunah Rosul dan atsar-atsar yang shahih yang telah mansur diantaranya orang-orang kepercayaan.apabila tidak saya ketemukan dalam kitabullah dan sunah rosul saya berpegang pada perkataan para sahabat,saya ambil mana yang saya kehendaki dan saya tinggal mana yang saya ridak saya kehendaki saya tidak keluar dari perkataan para sahabat kepada perkataan orang lain
Dengan secara ringkasnya dasar-dasar pengambilan hukum Abu Hanifah adalah:
Kitabullah
Sunah Rosulullah
Fatwa-farwa para sahabat
Qiyas
Istihsan
Adat dan ‘uruf masarakat
Al-imam Malik ibnu anas ra
.Al-Imam Malik ibnu anas ra adalah malik ibnu anas ibnu malik ibnu abi amir beliau berasal dari yaman .salah seorang kakeknya dating ke madinah lalu menatap di sana. Kakeknya abu amir adalah seorang sahabat nabi yang turut mempersaksikan seluruh peperangan nabi keceali perang badar malik sendiri dilahirkan pada tahun 93 Hijriah (712 M) beliau mempelajari ilmu pada ulama’-ulama’ madinah. Guru beliau yang pertama adalah Abdurrahman ibnu hurmuj.beliau juga menerima hadist dari naïf maulana ibnu umar dan ibnu si’ah az-zuhri. Gurunya dala ilmu fiqih adalah Rabiah ibnu abdirrahman, yang terkenal dengan rabiatur ra’yi.sesudah guru-gurunya mengake bahwa beliau telah ahli dalam soal hadist dan fiqih barulah beliau memberi fatwa dan meriwayatkan hadist. Beliau juga pernah berkata saya tidak memberi fatwa dan meriwayatkan hadist sehingga tujuh puluh ulama membenarkanya dan mengakui.
Banyak juga ulama hadits Yng menerima hadistdari padanya dan banyak fuqoha yang mengikuti perjalanann.Malik mempunyai dua keunggulan,pertama unggul dalam hadist,kedua unggul sebagai mufti dan mustanbith .Oleh karma itu banyak guru-gurunya sendiri seperti Rsbiah dan Yahya ibnu Said Musa ibnu ubah menerima hadist dari padanya.Dan diantara yang meriwayatkan hadist darinya, Muhammad ibnu idris As syafi’i, Abdullah ibnu mubarok dan Muhammad ibnu hasan As syafibani.
Adapun dasar-dasar istinbatul hukum imam maliki adalah:
1. Kitabullah
2.Sunnah rasul
3.Amal ulama’ madinah (ijma’ ahli madinah ). Dan terkadang menolak hadist apabila berlawanan atau tidak diamalkan oleh ulama’-ulama’ madinah .
4.Qiyas
5.Maslahat mursalah atau istihsan
3. Al-imam asy syafi’I r.a
Al- imam asy syafi’I adalah Abu abdillah muhamad ibnu idris abas ibnu usman ibnu syafi’i. asy syafi’I almutholibi, adalah keturunan mutholib ibnu abdi manaf yaitu kakek yang ke empat dari rosul dan kekakek yang ke sembilan dari asy syafi’I ibunya seorang srikandi dari yaman. Beliau dilahirkan ghujah (suatu kampong dalam jajahan palestina masuk wilayah Asqalan ) pada tahun 150 Hijriyah (767M)
ASy syafi’i mempelajari fiqih pada Muslim ibnu khalid dan mempelajari hadist pada sufyan ibnu uqhainah, guru hadist di mekah dan pada malik ibnu anas ahli hadisr di madinah. khalifah pada masa itu adalah harun ar-rasyid.yang pada masa itu rejadi pertarungan politik yang hebat antara keluarga abas dan keluarga ali .Asy syafi’i dituduh memihak pada gologan ali. Dikala pemuka –pemuka si’ah digiring kepada khalifh pada tahun 184H beliau turut digiring bersama. Dan sekiranya Allah tidak memberikan inayat Nya kepada beliau maka beliau akan menjadi korban tummah
Di kta mesirlah asy sayfi’I membentuk mazhab jadinya dan membacakan kitabnya yang baru. Beliau terus berdiam diri di Mesir sehingga wafat pada tahun 204 H (820 M)
Dasar-dasar mazhab Asy syafi’i adalah:
Sebagaimana telah diketahui dasar mazhab beliau telah dibukukan dalam risalah ushulnya beliau berpegang pada:
Dzhahir-dzahhir Al-qur’an selama belum ada dalil yang menegaskan, bahwa yang dimaksud bukan dzhajirnya
Sunatu Rasull
Ijma’
Qiyas
Istid-lal
4 Al Imam Ahmad ibnu hanbal r.a
Al Imam ibnu hanbal adalah Ahmad ibnu hanbal ibnu hilal asy sailani dilahirkan pada tahun 164H (780 M)
Adapun dasar-dasar mazhab beliau menurut keterangan Al imam ibnu qoyim ada lima
1.Nas Al-qur’an dan hadist marfu’
2.Fatwa-fatwa sahabat
3.Fatwa sahabat yang lebih dekat dengan Al-Qur’an dan As sunah
4. Hadisr mursal dan hadist dho’if
5. Qiyas.

PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
Hubungan agama dan politik selalu menjadi topik pembicaraan menarik, baik oleh golongan yang berpegang kuat pada ajaran agama maupun oleh golongan yang berpandangan sekuler. Bagi umat islam, munculnya topic pembicaraan tersebut berpangkal dari permasalahan. Apakah kerosulan Nabi Muhammad SAW mempunyai kaitan dengan masalah politik atau apakah islam merupakan agama yang terkait erat dengan urusan politik, munculnya permasalahan tersebut dipandang wajar, karena risalah islam yang dibawa Nabi SAW adalah agama yang penuh dengan ajaran dan undang-undang yang bertujuan membangun manusia.
Disamping itu sejarah juga mencacat bahwa permasalahan pertama yang dipersoalkan oleh generasi pertama umat islam sesudah rosululloh wafat adalah masalah kekuasaan poloitik atau pengganti beliau yang akan memimpin umat. Dalam kesempatan ini pemakalah mencoba untuk menguraikan mengenai pemikiran politik islam pada zaman klasik dan pertengahan diantaranya yaitu mengenai pemikiran politik kaum khawarij, syiah, muktazilah dan sunni.

1. Pemikiran Politik Kaum Khawarij
Bahwasanya generasi pertama golongan ini adalah sebagian dari pengikut khalifah Ali yang keluar dari barisannya dalam perang shiffin. Perang ini diakhiri dengan tahkim untuk menyelesaikan konflik antara Ali dan Muawiyah. Dalam tahkim ini disepakati bahwa, masing-masing pihak diharapkan mengirim seorang hakam (juru damai). Mewreka keluar dari barisan Ali setelah hasil keputusan tahkim diumumkan sebab, menurut mereka proses pelaksanaan tahkim dan keputusannya mengandung cacat, tidak adil bahkan bertentangan dengan ketentuan Al-Qur’an. Sesungguhnya merekalah yang memaksakan usul kepada Ali agar bersedia menerima tawaran pihak muawiyah supaya peperangan yang sedang berkecamuk dihentikan melalui tahkim berdasarkan Al-Qur’an.
Kecewa atas keputusan tahkim, dimana Ali secara sepihak dimakzulkan dari jabatannya sebagai khalifah dan ssebagai gantinya muawiyah diangkat menjadi khalifah, mereka berbalik menyalahkan Ali sebab menurut mereka tahkim tersebut tidak sesuai dengan ketentuan dalam al-Qur’an, kemudian, ketika Ali berusaha mengkonsolidisikan pasukannya untuk mengadakan pertempuran baru, karena ia sendiri tidak dapat menerima keputusan tahkim, sebagian anggota pasukannya menolak untuk ikut berperang, sekitar 12.000 orang memisahkan diri dari pasukan Ali, karena itulah mereka disebut dengan golongan atau kaum khawarij. Kaum khawarij ini kemudian mengembangkan paham dan pemikiran dibidang politik dan teologi secara sederhana. Pemikiran politik mereka yang pokok adalah mengenai exsistensi khalifah, pembentukan lembaga khalifah atau pemerintahan, menurut kaum ini, bukanlah suatu keharusan atau wajib. Hal ini tergantung kepada kehendak umat. Jelasnya kaum ini berpendapat bahwa membentuk pemerintahan dan mengangkat seorang imam atau pemimpi bukan wajib syar’I melainkan keadaanlah yang mengharuskannya ada.
Pemikiran politik kaum khawarij yang cenderung dan bercorak demokratis adalah mengenai masalah siapa yang berhak menjadi khalifah atau imam dan atau kepada Negara kalau memang dibutuhkan oleh umat islam. Golongan ini, berpendapat masalah ini berkaitan dengan kemaslahatan umat dank arena itu ia bukanlah hak monopoli suku tertentu. Siapapun berhak dan boleh menjadi khalifah selama mempunyai kemampuan untuk menjabat.
2. Pemikiran Politik Kaum Syiah
Telah diuraikan didepan bahwasanya, perang shiffin berakhir dengan tahkim (arbitrase) dan berakibat pada lahirnya tiga fraksi politik waktuitu yaitu pertama, golongan khawarij kedua, golongan nuawiyah yan nberhasil membentuk dinasti umayah dan imperial islam pertama dalam sejarah. Kemudiambn yang ketiga, golongan Ali yang kemudian terkenal dengan sebutan syiah. Kaum syiah adalah pengikut setia Ali bin Abi Tholib. Keyakinan mereka yang tinggi kepadanya membawa suatu keyakainan bahwa Ali adalah kholifah terpilih dari Nabi SAWyang berhak mengendalikan pemerintahan paska Nabi dan pemegang kepemimpian politik maupun agama. Dengan posisi yang demikian itu, imam mempunyai kekuasaan da peranan penting dalam penetapan hokum dan undang-undang dan imam merupakan sumber hokum dan undang-undang. Karena itu kaum syiah menetapkan bahwa seorang imam harus maksum, seorang imam harus memiliki ilmu yang meliputi sesuatu yang berhubungan dengan syariat, dan seorang imam adalah pembela agama dan pemelihara kemulyaan dan kelestariaannya agar terhindardari penyelewengan.

Musyarakah

MUSYARAKAH

Musyarakah (syirkah atau syarikah atau serikat kongsi) adalah bentuk umum dari usaha hasil dimana dua orang atau lebih menyumbangkan pembiayaan dan manajemen usaha, dengan peoposal bias sama atau tidak. Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan antara para mitra, dan kerugian akan dibagikan menurut proposal modal. Transaksi Musyarakah dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerja sama untuk meningkatkan nilai asset yang mereka miliki secara bersama-sama dengan memadukan seluruh sumber daya.
Ketantuannya, antara lain :
1. Pernyataan ijab dan qobuil harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
2. Pihak-pihak yang berkontrak harus cakap hokum, dan memperhatikan hal-hal berikut :
Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjan.
Setiaop mitra memiliki hak untuk mengatur asset musyarakah dalam proses bisnis normal.
Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang untuk mengelola asset dan masing-masing dianggap telah diberi wewenang untuk melakukan aktivitas musyarakah dengan memperhatikan mitranya, tanpa melakukan kelalaian yang disengaja.
Seorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan dana atau menginvestasikan dana untuk kepentingannya sendiri.
1. Obyek akad adalah modal, ketrja, keuntungan dan kerugian.
Pengertian secara bahasa
Musyarakah secara bahasa diambil dari bahasa arab yang berarti mencampur. Dalam hal ini mencampur satu modal dengan yang lain sehingga tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kata syirkah dalam bahasa arab berasal dari syarika (fi’il madhi), yashruku (fi’il mudhari’) syarikan/syirkatan/syarikatan (masdar/kata dasar); artinya menjadi sekutu atau syarikat (kamus al Munawar) menurut arti asli bahasa arab, syirkah berarti mencampurkan dua bahagian atau lebih sehingga tidak boleh dibedakan lagi satu bahagian dengan bahagian lainnya, (An-Nabhani).
Pengertian secara fiqih
Adapun menurut makna syara’, syirkah adalah suatu akad antara 2 pihak atau lebih yang sepakat untuk melakukan kerja dengan tujuan memperoleh keuntungan (An-Nabhani).
Bentuk Musyarakah
Hokum Syirkah
Syirkah hukumnya mubah. Ini berdasarkan dalil hadist nabi saw berupa taqrir terhadap syirkah. Pada saat baginda diutuskan oleh Allah sebagai nabi, orang-orang pada masa itu telah bermuamalat dengan cara ber-syirkah dan nabi Muhammad saw membenarkannya. Sabda baginda sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra: Allah ‘Azza wa jalla telah berfirman; Aku adalah pihajk ketiga dari 2 pihak yang bersyirkah selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya. Kalau salah satunya khianat, aku keluar dari keduanya. (Hr Abu Dawud, al Baihaqi dan ad Daruquthni) Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Aba MAnhal pernah mengatakan, "aku dan rakan kongsiku telah membeli sesuatu dengan cara tunai dan hutang." Lalu kami didatangi oleh Al Barra’bin Azib. Kami lalu bertanya kepadanya. Dia menjawab, " aku dan rakan kongsiku, Zaiq bin Arqam, telah mengadakan perkongsian kemudian kami bertanya kepada nabi s.a.w. tentang tindakan kami. Baginda menjawab barang yang (diperoleh) dengan cara tunai silalah kalian ambil. Sedangkan yang (diperoleh) secara hutang, silalah kalian bayar hokum melakukan syirkah dengan kafir zimmi hokum melakukan syirkah dengan kafir zimmi juga adalah mubah. Imam Muslim pernah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar yang mengatakan: " Rasulullah saw pernah memperkerjakan penduduk khaibar (penduduk Yahudi) dengan mendapat bahagian hasil tuaian buah dan tanaman"
Rukun Syirkah
Rukun syirkah yang asas ada 3 perkara yaitu:
a) Akad (ijab-Kabul) juga disebut sighad.
b) Dua pihak yang berakad (‘aqidani), mesti memiliki kecekapan melakukan pengelolaan harta
c) Obyek aqad (maghar) juga disebut ma’qud alaihi, samada modal atau pekerjaan.
Manakala syarat sah perkara yang boleh disyirkahkan adalah obyek tersebut boleh dikelola bersama atau diwakilkan.
Pandangan MAzhab Fiqih tentang Syirkah Hanafi berpandangan ada empat jenis syirkah yang syari’e yaitu syirkah inan, mudharabah dan wujud. (Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqh al Islami wa Adillatuhu) Mazhab Maliki hanya 3 jenis syirkah yang sah yaitu syirkah inan, abdan dan mudharabah. Menurut mazhab syafi’e, zahiriah dan Imamiah hanya 2 syuirkah yang sah yaitu inan dan mudharabah. Mazhab hanafi dan zaidiah berpandangan ada 5 jenis syirkah yang sah yaitu syirkah inan, abdan, mumudharabah, wujuh dan mufawadhah.
Adapun perkongsian boleh samada berkongsi hak milik (syirkatul amlak) atau dan perkongsian aqad syeikh taqiuddin An-Nabhani dalam kitabnya system ekonomi alternative perspektif islam berijtihad terdapat 5 jenis yang syari’e sama seperti pandangan mazhab hanafi dan zaidiah.
1) Syirkah Inan
Syirkah inan adalah syirkah yang mana 2 pihak atau lebih, setiap pighak menyumbangkan modal dan menjalankan kerja. Contoh bagi syirkah inan: khalid dan faizal berkongsi menjalankan perniagaan burger bersama-sama dan mesing-masing mengeluarkan modal RM500 setiap perkembangan ini diperbolehkan berdasarkan As-Sunnah dan ijma’ sahabah. Disyaratkan bahwa modal yang dikongsi adalah berupa wang. Modal dalam bentuk harta benda seperti kereta mestilah diakadkan pada awal transaksi. Perkongsian ini dibangunkan oleh konsep perwakilan (wakalah) dan kepercayaan (amanah). Sebab masing-masing pihak, dengan memberi atau berkongsi modal kepada eakan kongsinya untuk mengelolakan perniagaan. Keuntungan adalah berdasarkan kesepakan semua pihak yang berfungsi manakala kerugian berdasarkan peratrusan modal yang dikeluarkan. Abdurrazzak dalam kitab Al-jami’ meriwawatkan dari Ali r.a yang mengatakan: "kerugian bergantung kepada modal, sedangkan keuntungan bergantung kepada apa yang mereka sepakati"
2) Syirkah Abdan
3) Syirkah Mudharabah
4) Syirkah Mufawadhah