Selasa, 28 April 2009

PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
Hubungan agama dan politik selalu menjadi topik pembicaraan menarik, baik oleh golongan yang berpegang kuat pada ajaran agama maupun oleh golongan yang berpandangan sekuler. Bagi umat islam, munculnya topic pembicaraan tersebut berpangkal dari permasalahan. Apakah kerosulan Nabi Muhammad SAW mempunyai kaitan dengan masalah politik atau apakah islam merupakan agama yang terkait erat dengan urusan politik, munculnya permasalahan tersebut dipandang wajar, karena risalah islam yang dibawa Nabi SAW adalah agama yang penuh dengan ajaran dan undang-undang yang bertujuan membangun manusia.
Disamping itu sejarah juga mencacat bahwa permasalahan pertama yang dipersoalkan oleh generasi pertama umat islam sesudah rosululloh wafat adalah masalah kekuasaan poloitik atau pengganti beliau yang akan memimpin umat. Dalam kesempatan ini pemakalah mencoba untuk menguraikan mengenai pemikiran politik islam pada zaman klasik dan pertengahan diantaranya yaitu mengenai pemikiran politik kaum khawarij, syiah, muktazilah dan sunni.

1. Pemikiran Politik Kaum Khawarij
Bahwasanya generasi pertama golongan ini adalah sebagian dari pengikut khalifah Ali yang keluar dari barisannya dalam perang shiffin. Perang ini diakhiri dengan tahkim untuk menyelesaikan konflik antara Ali dan Muawiyah. Dalam tahkim ini disepakati bahwa, masing-masing pihak diharapkan mengirim seorang hakam (juru damai). Mewreka keluar dari barisan Ali setelah hasil keputusan tahkim diumumkan sebab, menurut mereka proses pelaksanaan tahkim dan keputusannya mengandung cacat, tidak adil bahkan bertentangan dengan ketentuan Al-Qur’an. Sesungguhnya merekalah yang memaksakan usul kepada Ali agar bersedia menerima tawaran pihak muawiyah supaya peperangan yang sedang berkecamuk dihentikan melalui tahkim berdasarkan Al-Qur’an.
Kecewa atas keputusan tahkim, dimana Ali secara sepihak dimakzulkan dari jabatannya sebagai khalifah dan ssebagai gantinya muawiyah diangkat menjadi khalifah, mereka berbalik menyalahkan Ali sebab menurut mereka tahkim tersebut tidak sesuai dengan ketentuan dalam al-Qur’an, kemudian, ketika Ali berusaha mengkonsolidisikan pasukannya untuk mengadakan pertempuran baru, karena ia sendiri tidak dapat menerima keputusan tahkim, sebagian anggota pasukannya menolak untuk ikut berperang, sekitar 12.000 orang memisahkan diri dari pasukan Ali, karena itulah mereka disebut dengan golongan atau kaum khawarij. Kaum khawarij ini kemudian mengembangkan paham dan pemikiran dibidang politik dan teologi secara sederhana. Pemikiran politik mereka yang pokok adalah mengenai exsistensi khalifah, pembentukan lembaga khalifah atau pemerintahan, menurut kaum ini, bukanlah suatu keharusan atau wajib. Hal ini tergantung kepada kehendak umat. Jelasnya kaum ini berpendapat bahwa membentuk pemerintahan dan mengangkat seorang imam atau pemimpi bukan wajib syar’I melainkan keadaanlah yang mengharuskannya ada.
Pemikiran politik kaum khawarij yang cenderung dan bercorak demokratis adalah mengenai masalah siapa yang berhak menjadi khalifah atau imam dan atau kepada Negara kalau memang dibutuhkan oleh umat islam. Golongan ini, berpendapat masalah ini berkaitan dengan kemaslahatan umat dank arena itu ia bukanlah hak monopoli suku tertentu. Siapapun berhak dan boleh menjadi khalifah selama mempunyai kemampuan untuk menjabat.
2. Pemikiran Politik Kaum Syiah
Telah diuraikan didepan bahwasanya, perang shiffin berakhir dengan tahkim (arbitrase) dan berakibat pada lahirnya tiga fraksi politik waktuitu yaitu pertama, golongan khawarij kedua, golongan nuawiyah yan nberhasil membentuk dinasti umayah dan imperial islam pertama dalam sejarah. Kemudiambn yang ketiga, golongan Ali yang kemudian terkenal dengan sebutan syiah. Kaum syiah adalah pengikut setia Ali bin Abi Tholib. Keyakinan mereka yang tinggi kepadanya membawa suatu keyakainan bahwa Ali adalah kholifah terpilih dari Nabi SAWyang berhak mengendalikan pemerintahan paska Nabi dan pemegang kepemimpian politik maupun agama. Dengan posisi yang demikian itu, imam mempunyai kekuasaan da peranan penting dalam penetapan hokum dan undang-undang dan imam merupakan sumber hokum dan undang-undang. Karena itu kaum syiah menetapkan bahwa seorang imam harus maksum, seorang imam harus memiliki ilmu yang meliputi sesuatu yang berhubungan dengan syariat, dan seorang imam adalah pembela agama dan pemelihara kemulyaan dan kelestariaannya agar terhindardari penyelewengan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar