Rabu, 29 April 2009

Imam Syafi'i

Mazhab Syafi'i (bahasa Arab: شافعية , Syaf'iyah) adalah mazhab fiqih yang dicetuskan oleh Muhammad bin Idris asy-Syafi'i atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Syafi'i. Mazhab ini kebanyakan dianut para penduduk Mesir bawah, Arab Saudi bagian barat, Suriah, Indonesia, Malaysia, Brunei, pantai Koromandel, Malabar, Hadramaut, dan Bahrain.



Sejarah
Pemikiran fiqh mazhab ini diawali oleh Imam Syafi'i, yang hidup di zaman pertentangan antara aliran Ahlul Hadits (cenderung berpegang pada teks hadist) dan Ahlur Ra'yi (cenderung berpegang pada akal pikiran atau ijtihad). Imam Syafi'i belajar kepada Imam Malik sebagai tokoh Ahlul Hadits, dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani sebagai tokoh Ahlur Ra'yi yang juga murid Imam Abu Hanifah. Imam Syafi'i kemudian merumuskan aliran atau mazhabnya sendiri, yang dapat dikatakan berada di antara kedua kelompok tersebut. Imam Syafi'i menolak Istihsan dari Imam Abu Hanifah maupun Mashalih Mursalah dari Imam Malik. Namun demikian Mazhab Syafi'i menerima penggunaan qiyas secara lebih luas ketimbang Imam Malik. Meskipun berbeda dari kedua aliran utama tersebut, keunggulan Imam Syafi'i sebagai ulama fiqh, ushul fiqh, dan hadits di zamannya membuat mazhabnya memperoleh banyak pengikut; dan kealimannya diakui oleh berbagai ulama yang hidup sezaman dengannya.

Dasar-dasar
Dasar-dasar Mazhab Syafi'i dapat dilihat dalam kitab ushul fiqh Ar-Risalah dan kitab fiqh al-Umm. Di dalam buku-buku tersebut Imam Syafi'i menjelaskan kerangka dan prinsip mazhabnya serta beberapa contoh merumuskan hukum far'iyyah (yang bersifat cabang). Dasar-dasar mazhab yang pokok ialah berpegang pada hal-hal berikut.
Al-Quran, tafsir secara lahiriah, selama tidak ada yang menegaskan bahwa yang dimaksud bukan arti lahiriahnya. Imam Syafi'i pertama sekali selalu mencari alasannya dari Al-Qur'an dalam menetapkan hukum Islam.
Sunnah dari Rasulullah SAW kemudian digunakan jika tidak ditemukan rujukan dari Al-Quran. Imam Syafi'i sangat kuat pembelaannya terhadap sunnah sehingga dijuluki Nashir As-Sunnah (pembela Sunnah Nabi).
Ijma' atau kesepakatan para Sahabat Nabi, yang tidak terdapat perbedaan pendapat dalam suatu masalah. Ijma' yang diterima Imam Syafi'i sebagai landasan hukum adalah ijma' para sahabat, bukan kesepakatan seluruh mujtahid pada masa tertentu terhadap suatu hukum; karena menurutnya hal seperti ini tidak mungkin terjadi.
Qiyas yang dalam Ar-Risalah disebut sebagai ijtihad, apabila dalam ijma' tidak juga ditemukan hukumnya. Akan tetapi Imam Syafi'i menolak dasar istihsan dan istislah sebagai salah satu cara menetapkan hukum Islam.
Lihat pula: Ijtihad

Qaul Qadim dan Qaul Jadid
Imam Syafi'i pada awalnya pernah tinggal menetap di Baghdad. Selama tinggal di sana ia mengeluarkan ijtihad-ijtihadnya, yang biasa disebut dengan istilah Qaul Qadim ("pendapat yang lama").
Ketika kemudian pindah ke Mesir karena munculnya aliran Mu’tazilah yang telah berhasil mempengaruhi kekhalifahan, ia melihat kenyataan dan masalah yang berbeda dengan yang sebelumnya ditemui di Baghdad. Ia kemudian mengeluarkan ijtihad-ijtihad baru yang berbeda, yang biasa disebut dengan istilah Qaul Jadid ("pendapat yang baru").
Imam Syafi'i berpendapat bahwa tidak semua qaul jadid menghapus qaul qadim. Jika tidak ditegaskan penggantiannya dan terdapat kondisi yang cocok, baik dengan qaul qadim ataupun dengan qaul jadid, maka dapat digunakan salah satunya. Dengan demikian terdapat beberapa keadaan yang memungkinkan kedua qaul tersebut dapat digunakan, dan keduanya tetap dianggap berlaku oleh para pemegang Mazhab Syafi'i.

Penyebaran
Penyebar-luasan pemikiran Mazhab Syafi'i berbeda dengan Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki, yang banyak dipengaruhi oleh kekuasaan kekhalifahan. Pokok pikiran dan prinsip dasar Mazhab Syafi'i terutama disebar-luaskan dan dikembangkan oleh para muridnya. Murid-murid utama Imam Syafi'i di Mesir, yang menyebar-luaskan dan mengembangkan Mazhab Syafi'i pada awalnya adalah:
Yusuf bin Yahya al-Buwaiti (w. 846)
Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w. 878)
Ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (w. 884)
Imam Ahmad bin Hanbal yang terkenal sebagai ulama hadits terkemuka dan pendiri fiqh Mazhab Hambali, juga pernah belajar kepada Imam Syafi'i. Selain itu, masih banyak ulama-ulama yang terkemudian yang mengikuti dan turut menyebarkan Mazhab Syafi'i, antara lain:
Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari
Imam Bukhari
Imam Muslim
Imam Nasa'i
Imam Baihaqi
Imam Turmudzi
Imam Ibnu Majah
Imam Tabari
Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani
Imam Abu Daud
Imam Nawawi
Imam as-Suyuti
Imam Ibnu Katsir
Imam adz-Dzahabi
Imam al-Hakim

Peninggalan
Imam Syafi'i terkenal sebagai perumus pertama metodologi hukum Islam. Ushul fiqh (atau metodologi hukum Islam), yang tidak dikenal pada masa Nabi dan sahabat, baru lahir setelah Imam Syafi'i menulis Ar-Risalah. Mazhab Syafi'i umumnya dianggap sebagai mazhab yang paling konservatif di antara mazhab-mazhab fiqh Sunni lainnya. Dari mazhab ini berbagai ilmu keislaman telah bersemi berkat dorongan metodologi hukum Islam yang dikembangkan para pendukungnya.
Karena metodologinya yang sistematis dan tingginya tingkat ketelitian yang dituntut oleh Mazhab Syafi'i, terdapat banyak sekali ulama dan penguasa di dunia Islam yang menjadi pendukung setia mazhab ini. Di antara mereka bahkan ada pula yang menjadi pakar terhadap keseluruhan mazhab-mazhab Sunni di bidang mereka masing-masing. Saat ini, Mazhab Syafi'i diperkirakan diikuti oleh 28% umat Islam sedunia, dan merupakan mazhab terbesar kedua dalam hal jumlah pengikut setelah Mazhab Hanafi.

Referensi
Abu Zahrah, Muhammad, Imam Syafi'i: Biografi dan Pemikirannya dalam Masalah Akidah, Politik & Fiqih, Penerjamah: Abdul Syukur dan Ahmad Rivai Uthman, Penyunting: Ahmad Hamid Alatas, Cet.2 (Jakarta: Lentera, 2005).
Al-Qaththan, Syaikh Manna', Pengantar Studi Ilmu Al-Qur'an, Penerjemah: H. Aunur Rafiq El-Mazni, Lc., MA., Penyunting: Abduh Zulfidar Akaha, Lc., Cet.1 (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006).
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Ed.1, Cet.12 (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001).
Imam Muslim, Terjemah Hadits Shahih Muslim, Penerjemah: Ahmad Sunarto (Bandung: Penerbit "Husaini" Bandung, 2002).
Al Imam Al Bukhari, Terjemah Hadits Shahih Bukhari, Penerjemah: Umairul Ahbab Baiquni dan Ahmad Sunarto (Bandung: Penerbit "Husaini" Bandung, tanpa tahun).
Diunduh dari wikipedia.

Penetapan Hukum Masa Khulafaur Rasyidin

Hasil pengumpulan data mahasiswa STAI An-Nawawi
PENETAPAN HUKUM MASA KHULAFA' AR-RASYIDIN


Al-Khulafa al-Rasyidin merupakan primping Islam dari kalangan sahabat, pasca Nabi Muhammad SAW wafat. Mereka merupakan pemimpin yang dipilih langsung oleh para sahabat melalui mekanisme yang demokratis. Siapa yang dipilih, maka sahabat yang lain berhak untuk memberikan bai’at (sumpah setia) pada calon yang terpilih tersebut. Perjalanan empat khalifah akhirnya dipimpin oleh Abu Bakar Shiddiq, Umar Ibn khattab, Usman Ibn Affan, dan Ali Ibn Abi Talib.
Maka dari itu, keempat khalifah tersebut merupakan sahabat-sahabat Nabi yang paling utama. Dalam islam kedaulatan tertinggi ada pada Allah SWT, sehingga para pengganti Nabi tidak memiliki pasilitas yang ekstra dalam ajaran islam untuk menentukan sebuah hukum baru, namun mereka ini termasuk pelaksana hukum yang disandarkan kepada Al-Qur’an dan Hadist serta ijtihad mereka masing-masing.
Maka dari itu pemakalah berusaha ingin membahas suatu ketetapan dan dasar hukum yang digunakan oleh para sahabat (Al-Khulafa al-Rasyidin) untuk menggali hukum.


ditemukan dalam Al-Qur’an ia putuskan menurut Al-Qur’an. Jika tidak ditemukan dalam Al-Qur’an dan ia tahu ada sunnah Rasulullah SAW yang menjelaskan penyelesaiannya, ia putuskan menurut sunnah Rasulullah SAW. Jika Ia tidak mengetahuinya ia kemukakan kepada para sahabat tentang perkara yang diajukan kepadanya tersebut. Jika ada sunnah ia putuskan berdasarkan sunnah. Jika tidak ada sunnah ia kembangkan rujukannya dengan mempelajari putusan Abu Bakar Ash-Shiddiq sebelumnya. Jika tidak ada sunnah ia musyawarah dengan pemuka-pemuka sahabat. Jika mereka mencapai kata sepakat, ia putuskan menurut kesepakatan mereka.1 Merujuk putusan Abu Bakar Ash-Shiddiq tidak selalu berarti menunjukan bahwa putusan Abu Bakar mengikuti Umar Ibn Khattab, namun merupakan satu sikap yang wajar.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa rujukan fatwa atau penetapan hukum yang digali oleh para sahabat ada empat yaitu Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Ijtihad dengan ra’yu.
Penggunaan ra’yu untuk menetapkan suatu hukum tidak dapat dihindari sahabat, mengingat peristiwa-peristiwa baru semakin banyak terjadi, sementara teks-teks Al-Qur’an dan sunnah yang menjadi sumber asasi syariat islam tidak bertambah lagi setelah Rasulullah SAW wafat, sehingga mereka harus menimba berbagai hokum dari sumber tersebut.
Sebagai contoh penetapan hukum pada masa sahabat yang menghasilkan ijtihad-ijtihad mengenai hokum syari’at tentang berbagai kejadian, antara lain :
2
Pemilihan Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai khalifah
Memerangi orang yang enggan untuk membayar zakat
Menentukan ukuran zakat atas jual beli binatang
Faktor-faktor yang memunculkan perbedaan-perbedaan pendapat antara sahabat, antara lain :
Perbedaan dalam memahami maksud ayat Al-Qur’an, karena terdapat dua ayat yang tampaknya bertentangan atau ada dua kata yang mengandung dua pengertian.
Perbedaan perbendaharaan pengetahuan sunnah Nabi SAW.
Perbedaan dalam metode ra’yu seperti qiyas atau lainnya
Meskipun demikian perbedaan-perbedaan pendapat masih kecil karena beberap sebab diantaranya ada perinsip musyawarah, masih terbatasnya riwayat hadist, terbatasnya kejadian baru, dan berhati-hati dalam memberikan fatwa, sehingga mereka tidak mengutamakan lebih tidak berfatwa.
1 Ibid hal.14
2 M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam (Yogyakarta : Pustaka Book Publiser ), hal. 78

Sumber Hukum yang digunakan Pada Masa Al-Khulafa al-Rasyidin
Dapat kita ketahui bahwa para sahabat Nabi SAW dalam menyandarkan suatu hukum mereka menggunakan Al-Qur’an, Sunnah, Ijma, dan Ijtihad dengan ra’yu. Tetapi pengertian ijtihad dengan ra’yu dikalangan sahabat para adalah pengarahan maksimal kemampuan untuk membahas hukum syari’at tentang suatu kejadian yang tidak diterangkan hukumnya secara jelas dalam Al-Qur’an atau As-Sunnah dengan menggunakan akal pikiran.
1
Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan oleh Allah dengan perantaraan malaikat jibril kedalam hati Rasulullah Muhammad SAW bin Abdullah dengan lafal Arab dan makna yang pasti sebagai bukti bagi Rasulullah bahwasannya dia adalah utusan Allah, sebagai undang-undang sekaligus manusia, dan sarana pendekatan (seorang hamba kepada tuhannya ) sekaligus sebagai ibadah ketika dibaca.
Alasan bahwa Al-Qur’an adalah hujjah bagi umat manusia dan hukum yang dikandungnya adalah undang-undang yang harus ditaati ialah karena Al-Qur’an diturunkan langsung dari Allah dengan cara yang pasti, tidak diragukan lagi kebenarannya. Sedangkan alasan Al-Qur’an diturunkan langsung dari Allah adalah I’jaz (melemahkan), yang berarti ketidakmampuan manusia untuk membuat seperti Al-Qur’an.
2
As-Sunnah
As-Sunnah menurut istilah syara’ adalah ucapan, perbuatan atau pengakuan Rasulullah SAW. Dan umat Islam sepakat bahwa ucapan, perbuatan dan penetapan Rasulullah yang mengarah pada hukum atau tuntutan dan sampai kepada kita dengan sanad yang sahih, yang dapat mendatangkan kepastian atau dugaan kuat atas kebenarannya adalah hujjah bagi umat Islam. Ia adalah sumber yang digunakan oleh para mujtahid untuk menetapkan hukum syara’ atas perbuatan orang-orang mukallaf. Artinya hukum yang terkandung di dalam As-Sunnah sejalan dengan hukum yang terkandung dalam Al-Qur,an adalah undang-undang yang harus di ikuti.
Sedangkan bukti atas kekuatan As-Sunnah sebagai hujjah adalah :
Nash-nash Al-Qur’an. Karena Allah sering kali dalam ayat-ayat al-qur’an memerintahkan untuk taat kepada Rasulnya, menjadikan taat kepada Rasul sebagai bukti ketaatan kepadanya.
Kesepakatan para sahabat Nabi baik semasa hidup maupun sepeninggalan Rasulullah SAW. akan kewajiban mengikuti sunnah Rasul. Demikian juga pada saat Rasulullah telah wafat, bila mereka tidak menemukan hukum atas sesuatu yang terjadi kepada mereka, maka diputuskan dengan merujuk kepada sunnah Rasulullah. Sebagai contoh ketika Abu Bakar tidak hafal sunnah mengenai suatu kejadian, dia bertanya kepada umat Islam,” Apakah diantara kalian ada yang hafal sunnah dari Nabi kita mengenai kejadian ini? Demikian juga yang dilakukan oleh Umar.
Allah Swt. Dalam Al-Qur’an telah menetapkan berbagai kewajiban yang masih bersifat global, dalam artian hukum tersebut dan petunjuk pelaksanaannya tidak terperinci.
3
Ijma’
Ijma’ menurut bahasa Arab berarti kesepakatan atau sependapat tentang suatu hal, seperti firman Allah Swt :” Maka ketika mereka membawanya dan sepakat”.
4 Sedangkan Ajma’ secara etimologi, dapat diartikan dengan ketetapan hati untuk melakukan sesuatu. Pengertian ini dapat dilihat dalam Q.S yunus ayat 71.
Ijma’ adalah suatu konsensus mengenai permasalahan hukum islam baik dinyatakan secara diam maupun secara nyata dalam hal ini ulama ushul fiqh memberikan pengertian bahwa ijma’ adalah kesepakatan seluruh mujtahid dikalangan umat Islam pada suatu masa setelah Rasulullah Saw wafat atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian.
5
Sedangkan Ijma’ Khulafaur Rasyidin adalah persesuaian paham khalifah yang empat terhadap suatu soal yang diambil dalam satu masa, atas suatu hukum. Ijma’ ini dapat sebagai hujjah dengan alasan Hadist Nabi SAW yaitu :” Berpegang eratlah kamu dengan sunnahku dan dengan sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku.6 (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Turmudzi). Ijma’ yamg dilakukan oleh keempat sahabat nabi ini menjadi sandaran hukum dalam menyelesaikan permasalahan agama.7
Ijtihad Bir-Ra’yu8
Ijtihad ialah :
“Mengerahkan seluruh kemampuan dalam menggali suatu hukum syara’ dengan melalui upaya istinbath (penggalian hukum) dengan dasar Al-Qur’an dan sunnah”.
9
Untuk mengenal metode ra’yu, berikut ini beberapa metode yang digunakan dalam menggali suatu hukum oleh para sahabat yaitu :
Qiyas
Ketika para sahabat akan mengetahui hukum suatu kejadian tentu ia akan meneliti apakah dalam Al-Qur’an terdapat nash (teks) yang menjelaskan hukumnya? Jika tidak ada, ia meneliti apakah dalam sunnah terdapat nash (teks) yang menjelaskan hukumnya? Jika tidak ada, ia meneliti apakah terdapat Ijma’ yang telah menetapkan hukumnya? Jika tidak ada, ia akan meneliti apakah ia dapat menetapkan hukumnya dengan qiyas. Artinya qiyas hanya dapat diterapkan pada sesuatu yang mempunyai ilat, misalnya mengiaskan padi pada kurmadari segi wajib mengeluarkan zakatnya, karena persamaan ilatnya yaitu sebagai bahan makanan pokok.
Maslahah mursalah
Maslahah mursalah adalah manfaat-manfaat yang seirama dengan tujuan Allah ta’ala (pembuat hukum), akan tetapi tidak terdapat dalil (argumen) khusus yang menjelaskan bahwa manfaat tersebut diakui atau tidak diakui oleh Allah ta’ala (pembuat hukum). Dengan mengaitkan hukum dengan manfa’at tersebut, maka akan dapat diwujudkan kemaslahatan bagi manusia atau dapat dihindarkan keburukan dari manusia.
‘Urf
‘Urf ialah kebiasaan masyarakat, baik perbuatan maupun ucapan (bahasa).
1 Muhammad Anwar Ibrahim, Philoshopy Of Islamic Law Of Transaktion, (Bandung : CIFA, 2001), hal. 26
2 Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta : Pustaka Amani, 2003), hal. 17
3 Ibid hal.39-43
4 QS. Yusuf (12): 15
5 Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, (Yogyakarta : AMZAH, 2005), hal.103
6 HR. Ahmad, Abu Daud dan Turmudzi
7 Ibid hal. 106
8 Ibid hal. 27-29
9 Abdul Hanid Hakim, Mabadiul Awwaliyah, (jakarta : Maktabah Sa’diyah Putra), hal. 20

Selasa, 28 April 2009

Pembinaan Hukum Periode Mazhab serta Perdebatan Hukum Islam antara Kaum Kasionalis Tekstualis dan Moderat


Pembinaan Hukum Periode Mazhab serta Perdebatan Hukum Islam antara Kaum Kasionalis Tekstualis dan Moderat

Pembinaan hukum pada periode mazhab

1 Al –Imam Abu Hanifah r.a.
Al-imam Abu Hanifah ialah : An-Nu’man tsabit Ataimi, dalahirkan di kufah pada tahun 80 Hijriah (699 M). Setalah permulaan abad ke dua hijriah beliau belajar fiqih pada Hammad Ibnu Abi sulaiman. Dan beliau banyak mendengar hadist dari ulama’-ulama’ hadist seperti :Atha’ Ibnu Rabiah dan nafi’ Maulana Ibnu umar
Adapun dasar –dasar mazhab Abu Hanifah ,kita dapat memahami dari cara beliau beristimbat dari tuturan beliau sendiri. Beliau berkata” saya berpegang pada kitabullah apabila saya mendapatinya. Sesuatu yang tidak saya dapati didalamnya, saya memakai sunah Rosul dan atsar-atsar yang shahih yang telah mansur diantaranya orang-orang kepercayaan.apabila tidak saya ketemukan dalam kitabullah dan sunah rosul saya berpegang pada perkataan para sahabat,saya ambil mana yang saya kehendaki dan saya tinggal mana yang saya ridak saya kehendaki saya tidak keluar dari perkataan para sahabat kepada perkataan orang lain
Dengan secara ringkasnya dasar-dasar pengambilan hukum Abu Hanifah adalah:
Kitabullah
Sunah Rosulullah
Fatwa-farwa para sahabat
Qiyas
Istihsan
Adat dan ‘uruf masarakat
Al-imam Malik ibnu anas ra
.Al-Imam Malik ibnu anas ra adalah malik ibnu anas ibnu malik ibnu abi amir beliau berasal dari yaman .salah seorang kakeknya dating ke madinah lalu menatap di sana. Kakeknya abu amir adalah seorang sahabat nabi yang turut mempersaksikan seluruh peperangan nabi keceali perang badar malik sendiri dilahirkan pada tahun 93 Hijriah (712 M) beliau mempelajari ilmu pada ulama’-ulama’ madinah. Guru beliau yang pertama adalah Abdurrahman ibnu hurmuj.beliau juga menerima hadist dari naïf maulana ibnu umar dan ibnu si’ah az-zuhri. Gurunya dala ilmu fiqih adalah Rabiah ibnu abdirrahman, yang terkenal dengan rabiatur ra’yi.sesudah guru-gurunya mengake bahwa beliau telah ahli dalam soal hadist dan fiqih barulah beliau memberi fatwa dan meriwayatkan hadist. Beliau juga pernah berkata saya tidak memberi fatwa dan meriwayatkan hadist sehingga tujuh puluh ulama membenarkanya dan mengakui.
Banyak juga ulama hadits Yng menerima hadistdari padanya dan banyak fuqoha yang mengikuti perjalanann.Malik mempunyai dua keunggulan,pertama unggul dalam hadist,kedua unggul sebagai mufti dan mustanbith .Oleh karma itu banyak guru-gurunya sendiri seperti Rsbiah dan Yahya ibnu Said Musa ibnu ubah menerima hadist dari padanya.Dan diantara yang meriwayatkan hadist darinya, Muhammad ibnu idris As syafi’i, Abdullah ibnu mubarok dan Muhammad ibnu hasan As syafibani.
Adapun dasar-dasar istinbatul hukum imam maliki adalah:
1. Kitabullah
2.Sunnah rasul
3.Amal ulama’ madinah (ijma’ ahli madinah ). Dan terkadang menolak hadist apabila berlawanan atau tidak diamalkan oleh ulama’-ulama’ madinah .
4.Qiyas
5.Maslahat mursalah atau istihsan
3. Al-imam asy syafi’I r.a
Al- imam asy syafi’I adalah Abu abdillah muhamad ibnu idris abas ibnu usman ibnu syafi’i. asy syafi’I almutholibi, adalah keturunan mutholib ibnu abdi manaf yaitu kakek yang ke empat dari rosul dan kekakek yang ke sembilan dari asy syafi’I ibunya seorang srikandi dari yaman. Beliau dilahirkan ghujah (suatu kampong dalam jajahan palestina masuk wilayah Asqalan ) pada tahun 150 Hijriyah (767M)
ASy syafi’i mempelajari fiqih pada Muslim ibnu khalid dan mempelajari hadist pada sufyan ibnu uqhainah, guru hadist di mekah dan pada malik ibnu anas ahli hadisr di madinah. khalifah pada masa itu adalah harun ar-rasyid.yang pada masa itu rejadi pertarungan politik yang hebat antara keluarga abas dan keluarga ali .Asy syafi’i dituduh memihak pada gologan ali. Dikala pemuka –pemuka si’ah digiring kepada khalifh pada tahun 184H beliau turut digiring bersama. Dan sekiranya Allah tidak memberikan inayat Nya kepada beliau maka beliau akan menjadi korban tummah
Di kta mesirlah asy sayfi’I membentuk mazhab jadinya dan membacakan kitabnya yang baru. Beliau terus berdiam diri di Mesir sehingga wafat pada tahun 204 H (820 M)
Dasar-dasar mazhab Asy syafi’i adalah:
Sebagaimana telah diketahui dasar mazhab beliau telah dibukukan dalam risalah ushulnya beliau berpegang pada:
Dzhahir-dzahhir Al-qur’an selama belum ada dalil yang menegaskan, bahwa yang dimaksud bukan dzhajirnya
Sunatu Rasull
Ijma’
Qiyas
Istid-lal
4 Al Imam Ahmad ibnu hanbal r.a
Al Imam ibnu hanbal adalah Ahmad ibnu hanbal ibnu hilal asy sailani dilahirkan pada tahun 164H (780 M)
Adapun dasar-dasar mazhab beliau menurut keterangan Al imam ibnu qoyim ada lima
1.Nas Al-qur’an dan hadist marfu’
2.Fatwa-fatwa sahabat
3.Fatwa sahabat yang lebih dekat dengan Al-Qur’an dan As sunah
4. Hadisr mursal dan hadist dho’if
5. Qiyas.

PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
Hubungan agama dan politik selalu menjadi topik pembicaraan menarik, baik oleh golongan yang berpegang kuat pada ajaran agama maupun oleh golongan yang berpandangan sekuler. Bagi umat islam, munculnya topic pembicaraan tersebut berpangkal dari permasalahan. Apakah kerosulan Nabi Muhammad SAW mempunyai kaitan dengan masalah politik atau apakah islam merupakan agama yang terkait erat dengan urusan politik, munculnya permasalahan tersebut dipandang wajar, karena risalah islam yang dibawa Nabi SAW adalah agama yang penuh dengan ajaran dan undang-undang yang bertujuan membangun manusia.
Disamping itu sejarah juga mencacat bahwa permasalahan pertama yang dipersoalkan oleh generasi pertama umat islam sesudah rosululloh wafat adalah masalah kekuasaan poloitik atau pengganti beliau yang akan memimpin umat. Dalam kesempatan ini pemakalah mencoba untuk menguraikan mengenai pemikiran politik islam pada zaman klasik dan pertengahan diantaranya yaitu mengenai pemikiran politik kaum khawarij, syiah, muktazilah dan sunni.

1. Pemikiran Politik Kaum Khawarij
Bahwasanya generasi pertama golongan ini adalah sebagian dari pengikut khalifah Ali yang keluar dari barisannya dalam perang shiffin. Perang ini diakhiri dengan tahkim untuk menyelesaikan konflik antara Ali dan Muawiyah. Dalam tahkim ini disepakati bahwa, masing-masing pihak diharapkan mengirim seorang hakam (juru damai). Mewreka keluar dari barisan Ali setelah hasil keputusan tahkim diumumkan sebab, menurut mereka proses pelaksanaan tahkim dan keputusannya mengandung cacat, tidak adil bahkan bertentangan dengan ketentuan Al-Qur’an. Sesungguhnya merekalah yang memaksakan usul kepada Ali agar bersedia menerima tawaran pihak muawiyah supaya peperangan yang sedang berkecamuk dihentikan melalui tahkim berdasarkan Al-Qur’an.
Kecewa atas keputusan tahkim, dimana Ali secara sepihak dimakzulkan dari jabatannya sebagai khalifah dan ssebagai gantinya muawiyah diangkat menjadi khalifah, mereka berbalik menyalahkan Ali sebab menurut mereka tahkim tersebut tidak sesuai dengan ketentuan dalam al-Qur’an, kemudian, ketika Ali berusaha mengkonsolidisikan pasukannya untuk mengadakan pertempuran baru, karena ia sendiri tidak dapat menerima keputusan tahkim, sebagian anggota pasukannya menolak untuk ikut berperang, sekitar 12.000 orang memisahkan diri dari pasukan Ali, karena itulah mereka disebut dengan golongan atau kaum khawarij. Kaum khawarij ini kemudian mengembangkan paham dan pemikiran dibidang politik dan teologi secara sederhana. Pemikiran politik mereka yang pokok adalah mengenai exsistensi khalifah, pembentukan lembaga khalifah atau pemerintahan, menurut kaum ini, bukanlah suatu keharusan atau wajib. Hal ini tergantung kepada kehendak umat. Jelasnya kaum ini berpendapat bahwa membentuk pemerintahan dan mengangkat seorang imam atau pemimpi bukan wajib syar’I melainkan keadaanlah yang mengharuskannya ada.
Pemikiran politik kaum khawarij yang cenderung dan bercorak demokratis adalah mengenai masalah siapa yang berhak menjadi khalifah atau imam dan atau kepada Negara kalau memang dibutuhkan oleh umat islam. Golongan ini, berpendapat masalah ini berkaitan dengan kemaslahatan umat dank arena itu ia bukanlah hak monopoli suku tertentu. Siapapun berhak dan boleh menjadi khalifah selama mempunyai kemampuan untuk menjabat.
2. Pemikiran Politik Kaum Syiah
Telah diuraikan didepan bahwasanya, perang shiffin berakhir dengan tahkim (arbitrase) dan berakibat pada lahirnya tiga fraksi politik waktuitu yaitu pertama, golongan khawarij kedua, golongan nuawiyah yan nberhasil membentuk dinasti umayah dan imperial islam pertama dalam sejarah. Kemudiambn yang ketiga, golongan Ali yang kemudian terkenal dengan sebutan syiah. Kaum syiah adalah pengikut setia Ali bin Abi Tholib. Keyakinan mereka yang tinggi kepadanya membawa suatu keyakainan bahwa Ali adalah kholifah terpilih dari Nabi SAWyang berhak mengendalikan pemerintahan paska Nabi dan pemegang kepemimpian politik maupun agama. Dengan posisi yang demikian itu, imam mempunyai kekuasaan da peranan penting dalam penetapan hokum dan undang-undang dan imam merupakan sumber hokum dan undang-undang. Karena itu kaum syiah menetapkan bahwa seorang imam harus maksum, seorang imam harus memiliki ilmu yang meliputi sesuatu yang berhubungan dengan syariat, dan seorang imam adalah pembela agama dan pemelihara kemulyaan dan kelestariaannya agar terhindardari penyelewengan.

Musyarakah

MUSYARAKAH

Musyarakah (syirkah atau syarikah atau serikat kongsi) adalah bentuk umum dari usaha hasil dimana dua orang atau lebih menyumbangkan pembiayaan dan manajemen usaha, dengan peoposal bias sama atau tidak. Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan antara para mitra, dan kerugian akan dibagikan menurut proposal modal. Transaksi Musyarakah dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerja sama untuk meningkatkan nilai asset yang mereka miliki secara bersama-sama dengan memadukan seluruh sumber daya.
Ketantuannya, antara lain :
1. Pernyataan ijab dan qobuil harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
2. Pihak-pihak yang berkontrak harus cakap hokum, dan memperhatikan hal-hal berikut :
Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjan.
Setiaop mitra memiliki hak untuk mengatur asset musyarakah dalam proses bisnis normal.
Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang untuk mengelola asset dan masing-masing dianggap telah diberi wewenang untuk melakukan aktivitas musyarakah dengan memperhatikan mitranya, tanpa melakukan kelalaian yang disengaja.
Seorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan dana atau menginvestasikan dana untuk kepentingannya sendiri.
1. Obyek akad adalah modal, ketrja, keuntungan dan kerugian.
Pengertian secara bahasa
Musyarakah secara bahasa diambil dari bahasa arab yang berarti mencampur. Dalam hal ini mencampur satu modal dengan yang lain sehingga tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kata syirkah dalam bahasa arab berasal dari syarika (fi’il madhi), yashruku (fi’il mudhari’) syarikan/syirkatan/syarikatan (masdar/kata dasar); artinya menjadi sekutu atau syarikat (kamus al Munawar) menurut arti asli bahasa arab, syirkah berarti mencampurkan dua bahagian atau lebih sehingga tidak boleh dibedakan lagi satu bahagian dengan bahagian lainnya, (An-Nabhani).
Pengertian secara fiqih
Adapun menurut makna syara’, syirkah adalah suatu akad antara 2 pihak atau lebih yang sepakat untuk melakukan kerja dengan tujuan memperoleh keuntungan (An-Nabhani).
Bentuk Musyarakah
Hokum Syirkah
Syirkah hukumnya mubah. Ini berdasarkan dalil hadist nabi saw berupa taqrir terhadap syirkah. Pada saat baginda diutuskan oleh Allah sebagai nabi, orang-orang pada masa itu telah bermuamalat dengan cara ber-syirkah dan nabi Muhammad saw membenarkannya. Sabda baginda sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra: Allah ‘Azza wa jalla telah berfirman; Aku adalah pihajk ketiga dari 2 pihak yang bersyirkah selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya. Kalau salah satunya khianat, aku keluar dari keduanya. (Hr Abu Dawud, al Baihaqi dan ad Daruquthni) Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Aba MAnhal pernah mengatakan, "aku dan rakan kongsiku telah membeli sesuatu dengan cara tunai dan hutang." Lalu kami didatangi oleh Al Barra’bin Azib. Kami lalu bertanya kepadanya. Dia menjawab, " aku dan rakan kongsiku, Zaiq bin Arqam, telah mengadakan perkongsian kemudian kami bertanya kepada nabi s.a.w. tentang tindakan kami. Baginda menjawab barang yang (diperoleh) dengan cara tunai silalah kalian ambil. Sedangkan yang (diperoleh) secara hutang, silalah kalian bayar hokum melakukan syirkah dengan kafir zimmi hokum melakukan syirkah dengan kafir zimmi juga adalah mubah. Imam Muslim pernah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar yang mengatakan: " Rasulullah saw pernah memperkerjakan penduduk khaibar (penduduk Yahudi) dengan mendapat bahagian hasil tuaian buah dan tanaman"
Rukun Syirkah
Rukun syirkah yang asas ada 3 perkara yaitu:
a) Akad (ijab-Kabul) juga disebut sighad.
b) Dua pihak yang berakad (‘aqidani), mesti memiliki kecekapan melakukan pengelolaan harta
c) Obyek aqad (maghar) juga disebut ma’qud alaihi, samada modal atau pekerjaan.
Manakala syarat sah perkara yang boleh disyirkahkan adalah obyek tersebut boleh dikelola bersama atau diwakilkan.
Pandangan MAzhab Fiqih tentang Syirkah Hanafi berpandangan ada empat jenis syirkah yang syari’e yaitu syirkah inan, mudharabah dan wujud. (Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqh al Islami wa Adillatuhu) Mazhab Maliki hanya 3 jenis syirkah yang sah yaitu syirkah inan, abdan dan mudharabah. Menurut mazhab syafi’e, zahiriah dan Imamiah hanya 2 syuirkah yang sah yaitu inan dan mudharabah. Mazhab hanafi dan zaidiah berpandangan ada 5 jenis syirkah yang sah yaitu syirkah inan, abdan, mumudharabah, wujuh dan mufawadhah.
Adapun perkongsian boleh samada berkongsi hak milik (syirkatul amlak) atau dan perkongsian aqad syeikh taqiuddin An-Nabhani dalam kitabnya system ekonomi alternative perspektif islam berijtihad terdapat 5 jenis yang syari’e sama seperti pandangan mazhab hanafi dan zaidiah.
1) Syirkah Inan
Syirkah inan adalah syirkah yang mana 2 pihak atau lebih, setiap pighak menyumbangkan modal dan menjalankan kerja. Contoh bagi syirkah inan: khalid dan faizal berkongsi menjalankan perniagaan burger bersama-sama dan mesing-masing mengeluarkan modal RM500 setiap perkembangan ini diperbolehkan berdasarkan As-Sunnah dan ijma’ sahabah. Disyaratkan bahwa modal yang dikongsi adalah berupa wang. Modal dalam bentuk harta benda seperti kereta mestilah diakadkan pada awal transaksi. Perkongsian ini dibangunkan oleh konsep perwakilan (wakalah) dan kepercayaan (amanah). Sebab masing-masing pihak, dengan memberi atau berkongsi modal kepada eakan kongsinya untuk mengelolakan perniagaan. Keuntungan adalah berdasarkan kesepakan semua pihak yang berfungsi manakala kerugian berdasarkan peratrusan modal yang dikeluarkan. Abdurrazzak dalam kitab Al-jami’ meriwawatkan dari Ali r.a yang mengatakan: "kerugian bergantung kepada modal, sedangkan keuntungan bergantung kepada apa yang mereka sepakati"
2) Syirkah Abdan
3) Syirkah Mudharabah
4) Syirkah Mufawadhah

Kitab al-Ghozali

Dibuat mahasiswa STAI An-Nawawi
Kitab Minhajul 'Abidin

A. Latar Belakang

Ibadah adalah buah dari imu, faedah dari umur, hasil dari usaha hamba-hamba Allah yang kuat, barang berharga dari pada pemimpin, aulia, jaln yang ditempuh oleh orang-orang yang bertaqwa, bagian untuk mereka yang mulia, yang ber-Himmah, pilihan orang-orang yang berwaspada dan jalan menuju syurga, firman Allah :
"Ini adalah ganjaran bagi kamu atas usaha kamu yang bersyukur" (Al-Insan : 22).
Melihat kenyataan bahwa manusia adalah makhluk lemah, sedangkan perubahan zaman semakin tak karuan, urusan agama mundur, kesempatan kurang, manusia dimabukkan dengan urusan dunia dan umur yang relative pendek untuk itu, kami akan memaparkan intisari dari apa yang terkandung dalam kitab Minhajul ‘Abidin sebagai intropeksi diri kita sebagai manusia yang diciptakan Allah untuk selalu bertakwa dan beribadah kepada-Nya. Dalam Minhajul ‘Abidin dibahas mengenai tahapan-tahapan ibadah yang jumlahnya ada 7 tahapan :
1. Tahapan ilmu dan makrifat.
2. Tahapan taubat.
3. Tahapan godaan.
4. Tahapan rintangan.
5. Tahapan pendorong.
6. Tahapan cacat-cacat.
7. Tahapan puji dan syukur.
Yang akan kami paparkan satu persatu dalam pembahasan kami berikut ini.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Tahapan Ilmu dan Makrifat.
Ilmu dan ibadah adalah dua mata rantai yang saling berkait, karena pada dasarnya apa yang kita lihat, kita dengar, dan kita pelajari adalah untuk ilmu dan ibadah. Adapun yang dimaksud dengan ilmu makrifat adalah, orang yang harus mengenal empat perkara :
1) Mengenal dirinya.
2) Mengenal tuhannya.
3) Mengenal dunia dan.
4) Mengenal akhirat.
Bila seseorang telah mengenal diri dan Tuhannya dunia dan akhirat, tentu akan timbul kecintaan terhadap Allah, sebagai hasil makrifat kepada-Nya.
Taat tidak akan tercapai tanpa ilmu, maka sebelum ibadah hendaklah mendahulukan ilmu. Ilmu juga dapat menimbulkan rasa takut kepada Allah SWT firman Allah :

Menurut ilmu diwajibkan bagi setiap muslim, sebagaimana sabda rosul:
"Menuntut ilmu diwajibkan bagi setiap muslim".
Adapun ilmu yang diwajibkan itu adalah :
a. Ilmu Makrifat, yakni ilmu untuk mengenal Allah.
b. Ilmu Tasawuf, yakni ilmu yang berhubungan dengan ibadah batin, seperti ihklas, tawakal, dan sebagainya.
c. Ilmu Syara’, yaitu masalah halal dan haram yang merupakan rubu’ ibadah muamalah, munakahat dan jinayat.
Pendapat para ulama’ mengenai ilmu yang wajib itu berbeada-beda tetapi yang paling mendekati adalah ulama’ yang mengatakan bahwa kita harus mengetahui inti dari agama islam yaitu mengenai ketuhanan, kenabian dan mahsyar yang merupakan batasan wajib bagi ilmu yang fardu’ ain dari ilmu tauhid.
v Mengenai ketuhanan → maksudnya kita harus mengetahui bahwa kita mempunyai tuhan yang maha mengetahui, maha kuasa, maha hidup serta segala sifat sempurna yang ada pada-Nya.
v Kenabian → kita harus mengetahui dan yakin bahwa nabi Muhammad SAW adalah hamaba Allah dan utusan-Nya yang selalu benar dalam menerangkan masalah akhirat, nikmat kubur, siksa dan sebagainya.
Sedangkan yang fardhu ‘ain dapat dipelajari dari ilmu sir, yakni ilmu tasawuf. Dan hendaknya setiap individu mempelajari segala yang wajib dan yang haram dari ilmu ini yaitu mengetahui sifat-sifat hati sabar, syuruk, khauf, raja, rida, zuhud, qana’ah ikhlas dan sebagainya.
Adapun yang fardu ‘ain dapat dipelajari melalui ilmu syari’at, yakni ilmu fiqh yang membahas masalah taharah, sakit dan puasa.
2. Taubat.
Wajib bagi kita, orang-orang yang manjalankan ibadah melakukan taubat sebab diwajibkan taubat ada dua hal.
1) Agar kita taat, sebab perbuatan dosa menghalngi perbuatan taat dan menghilangkan ketauhidan, berkhidmat kepada Allah dan menghalangi kita untuk berbuat kebaikan. Bagaimana akan menghadap Allah, jika ia selalu berlumuran dengan kotoran dan najis sebagaimana hadist nabi.
"Bilamana seseorang berdusta maka menyingkirlah dua malaikat mereka tidak akan tahan bau ucapan dusta yang keluar dari mulutnya".
2) Agar ibadah kita diterima oleh Allah SWT, karena tobat merupakan inti dasar untuk diterimanya ibadah dan kedudukan ibadah seolah-olah hanya sebagai tambahan.
Guru kami mengatakan, taubat adalah meninggalkan dosa yang telah diperbuat dan dosa-dosa yang sederajat dengan itu, dengan mengagungkan Allah dan takut akan murka-Nya. Syarat taubat ada 4 :
1) Meninggalkan dosa dengan sekuat hati dan niat.
2) Menghentikan perbuatan dosa yang pernah dikerjakannya, itu adalah menjaga, bukan taubat.
3) Perbuatan dosa yang pernah dilakukannya harus setimpal atau seimbang dengan dosa yang ditinggalkan sekarang.
4) Meninggalkannya semata-mata untuk mengagungkan Allah SWT, bukan karena yang lain.
Jadi taubat adalah semata-mata takut akan murka Allah.
–( Niatan Taubat )-
Taubat yang dijalankan tanpa adanya pendahuluan akan terasa berat, oleh karena itu, dalam bertaubat ada tiga pendahuluan :
1) Menyadari bahwa dosa adalah suatu yang amat buruk.
2) Sadar dan ingat akan kerasnya hukuman dan murka Allah.
3) Menyadari dari kelemahan dan kurangnya tanaga kita untuk menahan semua itu.
Sedangkan dosa itu sendiri terbagi atas tiga bagian :
1) Dosa karena meninggalkan pekerjaan yang diwajibkan oleh Allah seperti sholat.
2) Dosa antara kita dengan Allah seperti minum-minuman keras.
3) Dosa antar sesame hal itu yang paling sukar sebab timbul dari lima perkara.
1) Masalah pribadi
2) Masalah perasaan
3) Masalah kehormatan
4) Masalah harta
5) Masalah agama
3. Await (godaan atau penghalang)
Penghalang (godaan) ibadah ada empat macam :
1) Dunia dan isinya
Yang dimaksud dunia disini adalah semua yang tidak bernmanfaat untuk akhirat, adapun yang mengharuskan meninggalkna dunia adalah :
1) agar ibadah kita lurus dan banyak sebab jika kita tertarik dunia seluruh perhatian aakan tertuju padanya.
2) Zuhud, memperbanyak dan mempertinggi nilai amal.
Menurut para ulama, zuhud ada dua macam :
a) zuhud yang mampu dikerjakan oleh hamba Allah
b) zuhud yang tidak dapat dikerjakan oleh hamba Allah
zuhud yang mampu dikerjakan oleh hamba Allah ada 3 macam :
- tidak mengejar kesenangan dunia yang tidak ia miliki.
- Membagikan kesenangan dunia yang terkumpul padanya.
- Tidak menghendaki dunia dalam hatinya dan tidak mengusahakannya.

Quran


2) Mahluk Tuhan
Yang mewajibkan kita agar menjauhi mahluk ada dua perkara :
1) sebab kebnaykan mahluk akan memalingkan kita dari ibadah dengan memasukkan kebingungan-kebingungan dalam hati kita.
2) Sebab kebanyakan manusia dapat merusak ibadah yang telah kita laksanakan.
Manusia dalam hal ini terbagi menjadi dua golongan :
1) orang yang oelh manusia lain tidak dibutuhkan sama sekali, baik ilmu maupun keterangan-keterangannya yang bermanfaat. Dengan menempuh salah satu dari dua jalan :
a) pergi ke suatu empat yang sunyi guna membebaskan diri dari kewajiban dan memilih tempa yang jkauh dari pergaulan manusia.
b) Jika merasa yakin gbahwa kemadharatan pergaulan yang disebabkan membela kewajiban lebih besar dari pada meninggalkannya, maka ia dibenarkan mennggalkannya.
2) Orang-orang yang mempunyai pengikt dan ilmunya dibutuhkan oleh masyarakat. Golonan ini tidak dibenarkan mengasingkan diri dari masyarakat. Rosululloh bersabda :
Ketika bid’ah dan kesesatan telah tampak dan orang-orang alim diam membisu, maka jatuhkah kepadanya laknat Allah."
Perlu diketahui bahwa orabg orang yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam bergaul dengan masyarakat diperlukan du ahal penting :
1) Sabar atas segala penderitaan yang diperoleh dari peroleh dari pergaulan serta menganalisanya dengan cara tulus dan memohon pertolongan Allah.
2) Bagi yang mempunyai pengikut sekalipun lahirnya bergaul dengan dengan masyarakat tetapi hendaknya haitnya menyendiri.
Berziarah dan bertemu kepada para saudara seagama adalah termasuk permata ibadah yang mengandung hal-hal mulia dididi Allah serta memiliki banyak manfaat akan tetapi ada syarat-syaratnya :
a) tidak terlalu sering dan berlebih-lebihan, sabda rosul :

"Bertemulah dalam waktu-waktu tertentu, nanti engkau akan bertambah cinta:.
b) dalam berziarah perlu mematuhi yang hak dengan menjauhi riya’ dan perbuatan yang dibuat-buat.
Perkara yang memudahkan uzlah ada tiga macam :
1) menghabiskan waktu untuk beribadah.
2) Memutuskan sama sekali hubungan dengan orang lain.
3) Mengamati secara mendalam bahaya yang ditimbulkan orang lain.
3) Syaitan
Yang mewajibkan kita untuk memerangi dan menyalahkan syaitan ada dua alasan :
a) syaitan adalah nyata-nyata musuh yang menyesatkan, firman Allah surat al-Fatir : 6:
b) Sebab sudah menjadi tabi’at syaitan untuk selalu memusuhi anak cucu adam.
Untuk memerangi syaitan, menurut pendapat ulama ada 3 cara :
a) harus mengetahui segala tipu daya syaitan, sehingga dia tidak akan berani mengganggu kita.
b) Anggaplah remeh ajakan syaitan.
c) Berdzikir dengan lisan maupun hati.
4) Hawa nafsu
Kita harus waspada kepada hawanafsu karena dua perkara
a) karena hawa nafsu merupakan musuh dari dalam, bukan musuh dari luar seperti halnya syaitan.
b) Karena hawa nafsu adalah musuh yang disukai, maka manusia yang mencintainya, akan menutup mata terhadap segala keibannya.
Untuk mengalahkan nafsu syahwat terdapat tiga cara :
1) mengekang keinginan
2) dibebani dengan beribadah.
3) Berdoa dan memohon pertolongan Allah, firman Allah surat yusuf 54 :
4. Rintangan atau Awarid atau Godaan.
Adapun awarid ada 4 macam :
1) Rezeki dan tuntutan hawa nafsu, keduanya dapat diubah dengan tawakal. Untuk iru sudah seharusnya bagi setiap muslim menggantungkan diri kepada Allah di dalam urusan rizki dan tuntutan. Hal itu dikarenakan dua hal :
a) agar tntram dalam beribadah.
b) Adanya firman Allah SWT, surat al-Dzariat : 57
Berikut ini merupakan penjelasan tentang hakikat tawakal, da kewajiban seseorang dalam hubungannya dengan rezeki.
Ø Tawakal berarti mempercayakan (mewakilkan / menyerahkan) atau menyandarkan kepada Allah.
Ø Saat-saat bertawakal :
1) Tawakal mengenai dismah (nasib).
Yakni percaya kepada Allah sebab taqdir yang digariskan Allah dalam lauhul mahfudz pasti benar.
2) TAwakal dalam hal pertolongan Allah.
Percaya adanya pertolongan Allah jika kita berjang benar-benar untuk Allah, maka pasti Allah menolong kita.
3) Tawakal dalam hal rezeki.
Hal ini karena Allah telah menjamin umatnya dengan bekal yang mencukupi guna beribadah kepada Allah SWT.
Friman Allah, surat al-Thalaq : 3
4) Benteng tawakal.
Adalah mendorong seseorang bertawakal karena ingat akan jaminan Allah. Firman Allah, surat al-Jum’ah : 10
2) Bahaya-bahaya simpangan dari bahaya-bahaya utama. Untuk mengatasi hal itu tidak lain hanyalah berserah diri kepada Allah.
Menyerahkan diri kepada Allah ini dikarenakan dua sebab :
1) agar hati menjadi tenteram dan tidak gelisah. Sebab sesuatu yang samara akan membingungkan, mana yang baik da mana yang buruk.
2) Akan mendatangkan maslahat dan kebaikan. Sebab segala sesuatu jika diamamti akan samara. Banyak keburukannya, tetapi sebenarnya baik. Banyak yang menguntungkan sedang pada kenyataannya merugikan.
Sesorang yang berpura-pura mengetahui segala urusan, berani memastikan ini dan itu untuk masa depannya tanpa berserah diri kepada Allah maka ia akan menemui kecelakaan meskipun ia tidak menyadari, sebagaimana syair :
"janganlah engkau merasa umurmu akan panjang, karena lamunan seperti itu banyak membawa ajal".
Sesseorang yang berserah diri kepada Allah akan mendapat jaminan pada hari kemudian untuk menjelaskan tafwid dan hukumnya terdapat dua fasal :
1) Tempat menyerahkan segala segala sesuatu kepada Allah beserta hukumnya.
2) Arti berserah diri kepada Allah dan akhrifnya, serta lawannya.
Ø Tempat untuk berserah diri kepada Allah ada tiga bagian :
1) suatu keinginan jika hal itu tidak baik dan jahat, berarti jelas bahwa hal itu suatu keburukan seperti neraka, siksa, perbuatan itu adalah kufur, bid’ah dan maksiat.
2) Segala keinginan yang diyakini baik, juga harus diserahkan sepenuhnya kepada Allah.
3) Tempat seseorang berkeinginan untuk tafwid (menyerahkan diri kepada Allah).
Jadi tempat tafwid adalah keinginan-keinginan yan mengundang bahaya yaitu ragu-ragu adanya maslahat di dalam keinginan itu.
Ø Makna tafwid
Salah seorang guru kami mengatakan "dalam memilih mana yang lenih baik dari hal-hal yang belum pasti, hendaknya diserahkan kepada yang berhak, yakni Allah".
Berkata pula syaijh Abu Umar : "tingglkan sifat tamak (harapan yang tidak baik)."
Tamak artinya menghendaki sesuatu yang mengandung bahaya (paksaan) lawan dari tafwid adalah tamak. Dan tamak itu umumnya mempunyai dua arti :
1) berarti sama dengan raja – ada harapan baik. Misalnya menghendaki sesuatu yang tidak mengandung bahaya atau sesuatu yang mengandung bahaya tetapi dengan mengucapkan insya Allah.
2) Tamak nazmum (tercela) tamak jenis inilah yang dimaksud lawan dari tafwid sabda Rosululloh saw :
"janganlah kalian tamak sebab tamak ialah kefakiran yang abadi".
Benten tafwid adalah mengi gat baahya akibat sesuatu hal atau sadar bahwa segala sesuatuberkemungkinan rusak dan celaka.
5. Tahapan pendorong
6. Tahapan celaan atau cacat-cacat
7. Bersyukur Kepada Allah
B.

Hukum Syara'

Hasil Pemakalahan Zaenal Abidin Mahasiswa STAI An-Nawawi Purworejo

Hukum Syara'
Latar Belakang

Ushul fiqh merupakan suatu ilmu yang didalamnya terkandung kaidah yang menjelaskan cara menggali hukum dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Untuk itu ilmu ini sangat penting bagi para mujtahid.
Adapun hasil ijtihad seorang mujtahid menggunakan ilmu ushul fiqh dpat disebut dengan fiqh. Sedangkan dalam fiqh sendiri terdapat hukum syara’. Yang nantinya hukum tersebut yang berhubungan mukallaf.
Akan tetapi dengan berjalannya waktu menuju zaman modern sekarang ini banyak dari orang kita (muslim) yang kurang begitu mengetahui tentang ilmu ushul fiqh, pada dasarnya apalagi menuju pada mempraktekkannya.
Oleh karena itu agar kita (muslim) sedikit lebih tahu mengenai ilmu itu maka kami pada makalah ini membahas perihal tentang pengertian ushul fiqh secara terminology, hukum syara’dan komparasinya dengan ilmu hukum modern.
Rumusan Masalah
Apa yang dimaksud dengan ushul fiqh secara teminologi ?
Sebutkan pembagian hukum syara’ ?
Bagaimana komparasi ilmu ushul fiqh dengan ilmu hukum modern ?
Pembahasan
Pengertian Ushul Fiqh
Dari segi ethimologi ushul fiqh adalah tarkib idhafi yang terdiri dari kata ushul dan fiqh yang berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi fiqh dengan kata lain ushul bagi fiqh.1
Adapun secara terminologi ushul fiqh menurut Prof. Muhammad Abu Zahrah ushul fiqh berarti kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang cara (metode) pengambilan (penggalian) hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalil syar’i. 2
Hukum Syara’
Secara etimologi hukum mempunyai arti “mencegah”, sedngkan secara terminology hukum berarti ketentuan Allah Swt yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang berupa tuntutan (melakukan atau meninggalkan) atau pilihan ataupun berupa ketentuan.3
Menurut Imam Ghozali mengetahui hukum syara’ merupkan inti dari Ilmu Fiqh an Ushul Fiqh.
Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah suatu ketentuan yang menuntut mukallaf melakukan atau meninggalkan perbuatan atau berbentuk pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan4atau dengan kata lain hukum yang menjelaskan tentang perintah, larangan, dan pilihan untuk melakukan sesuatu atau meninggalkannya.
Hukum taklifi dapat dibagi menjadi lima, yaitu Ijab, mandub, haram, makruh dan mubah (dalam ushul fiqh).
Ijab
Dalam Ushul fiqh mengunakan istilah ijab. Ijab ialah suatu perbutan yang dituntut Syari’(Allah dan Rasul-Nya agar dilaksanakan mukallaf dengan tuntutan yang pasti lagi jelas. Seperti halnya puasa itu wajib karena bentuk tuntutan yang menuntut puasa itu adalah pasti. Allah Swt . berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Baqoroh : 183 yang berbunyi :
Ahli ushul fiqh membagi wajib menjadi beberapa macam, yaitu :5
Wajib dilihat dari segi waktu pelaksanaannya terbagi dua, wajib muthlaq dan wajib muaqqat.
Wajib muthlaq adalah suatu kewajiban yang dituntut oleh Syari’ kepada mukallaf untuk dilakukan tanpa ditentukan waktu pelaksanaannya. Misalnya orang yang melanggar sumpahnya maka ia wajib membayar kaffarat kapan saja ia mampu.
Wajib muaqqat yaitu suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh mukallaf dalam waktu yang telah ditentukan Syari’. Apabila kewajiban itu dilakukan di luar wktu yang telah ditentukan maka perbuatan itu tidak sah. Seperti pada kewajiban shalat dan puasa. Perbuatan –perbuatan dalam wajib muaqqat bila telah dilaksanakan mukallaf pada waktunya dan terpenuhi rukun serta syaratnya maka perbuatannya disebut ada’. Apabila perbuatan yang diwajibkan untuk keduakalinya pada waktu yang telah ditentuka karena perbuatn yang dikerjakan pertama kali tidak sempurna disebut I’adah. Sedangkan melakukan perbuatan yang diwajibkan setelah waktu pelaksanaan kewajiban itu habis disebut qadha.
Wajib yang dilihat dari segi orang yang dituntut melaksanakannya terbagi kepada wajib ‘ain dan wajib kafa’i(kifayah).
Wajib ‘ain yaitu suatu kewajiban yang dituntut Syari’ untuk dilakukan setiap mukallaf sampai dia meniggal, saperti kewajiban shalat dan zakat.
Wajib kifa’i suatu kewajiban yang dituntut Syari’ pada sekelompok mukallaf untuk melaksanakannya. Apabila kewajiban itu sudah dilakukan oleh sebagian mukallaf maka mukallaf yang lain sudah gugur tuntutan kewajibannya. Contohnya seperti menyelenggarakan jenazah.
Wajib dilihat dari segi jumlah atau ukuran yang diwajibkanterbagi juga menjadi dua ; wajib muhaddad dan wajib ghairu muhaddad.
Wajib muhaddad adalah suatu kwajiban yang telah ditentuan Syari’jumlah atau ukurannya sehingga orang mukallaf belum terlepas dari kewajiban itu sehingga telah melaksanakannya sesuai ukuranyang telah ditentukan. Misalnya, zakat harta yang telah ditentukan kadar nishab dan jumlah zakat yang dikeluarkan.
Wajib ghairu muhaddad yaitu suatu kewajiban yang tidak ditentukan Syari’ jumlah dan ukurannya. Sebagai contohnya adalah mengenai nafkah sebelum ada hukum yang konkrit yang menjelaskan ukuran tersebut yang ukurannya tergantung diri kemampuan setiap individu.
Wajib yang dilihat dari segi bentuk perbuatan yang diperintahkan terbagi menjadi wajib mua’yyan dan wajib mukhayyar.
Wajib mua’yyan adalah suatau kewajiban yang diperintahkn Syari’ kepada mukallaf untuk melakukan prbuatan yang telah ditentukan. Mukallaf tidak dapat memilh yang lain kecuali perbuatan yang telah ditentukan seperti melunsi hutang.
Wajib mukhayyar ialah suatau kewajiban yang telah dibebankan Syari’ kepada mukallaf dengan memilih salah satu dari beberapa alternative yang telah ditetapkan. Seperti pembayaran kaffarat sumpah bagi orang yang melanggar sumpah.
Mandub
Mandub adalah sesuatu yang dituntut oleh Syari’ untuk dilaksanakan mukallaf seacara tidak pasti6 atau perbuatan yang dianjurkan oleh Syari’. Bentuk tuntutan Syari’ itu sendiri tidak menunjukkan kepastian atau tuntutan itu bergandengan dengan alasan yang menunjukkan tidak adanya kepastian. Seperti pada firman Allah Swt : baq282
Perintah menuliskan utang adalah sunnah tidak wajib dengan alasan pada ayat seterusnya. Ulama’ ushul fiqh membagi mandub menjadi tiga macam.7
Mandub yang tuntutan mengerjakannya secara menguatkan(muakkadah). Yaitu segala perbuatan yang sangat dianjurkan untuk dilakaukan mukallaf atau sunnah yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah SAW secara kontinyu. Biasanya perbuatan yang tergolong dalam pembagian ini untuk menyempurnakan perbuatan wajib seperti adzan dan iqamah.
Mandub Ghairu muakkad.
Merupakan sunnah yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah SAW secara kontinyu atau kurang begitu dianjurkan, contohnya shalat empat rakat sebelum dzuhur.
Mandub zaidah, yaitu perbuatan yang dimaksudkan untuk meneladani dan mengikuti Nabi atau pelengkapseperti cara berjalan , minum dan tidurnya.
Haram
Haram dapat diartikan dengan larangan Allah yang pasti untuk mukallaf atau tuntutan dari Sang Syari’ untuk ditinggalkan. Suatu perbuatan yang haram atau yang dilarang biasanya dalam al-Qur’an dan Sunnah disertai dengan indikasi seperti kata-kata harrama dan hurrimat atau dengan kata-kata yang lain yang mengindikasikan larangan. Seperti dalam firman Allah Swt.mai 3 an’am 151
Haram terbagi menjadi :
Haram dzati, yaitu haram yangmenurut asalnya sendiri adalah haram. Artinya hukum syara’ telah mengharamkan keharaman itu sejak dari permulaan seperti zina, mencuri dan meminum khamar.
Haram ghairu dzati, yaitu perbuatan yang dilarang oleh syara’ dimana larangan tersebut bukan aslinya melainkan awalnya bias mengandug hukum wajib ,sunnah atau boleh tetapi bersamaan dengan sesuatu yang baru menjadikannya haram seperti shalat menggunakan pakaian hasil curian dan jual beli yang mengandung unsur tipuan.
Makruh
Makruh berarti sesuatu yang dituntut Syari’ untuk tidak dikerjakan atau ditinggalkan oleh mukallaf dengan tuntutan yang tidak pasti,lantaran tidak ada dalil yanag menunjukkan atas haramnya perbuatan itu. Sebagaimana firman Allah Swt. : jum 9
Menurut ulama’ Hanafiyyah makruh terbagi menjadi ;
Makruh tahrim, yeitu perintah untuk meninggalkan suatu perbuatan secara pasti tetapi didasarkan pada dalil yang dzanni bahkan ada yang mengatakan makruh yang mendekati haram, misalnya dilarangnya laki-laki memakai sutera dan emas.
Makruh tanzih ialah tuntutan atau perintah Syari’ kepada mukalllaf untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti. Bapak Firdaus dalam buku ushul fiqhnya mencontohkan makruh tahrim drngan contoh memakan daging kuda8.
Mubah
Mubah merupakan suatu hukum yang oleh Syari’ mukallaf diperintahkan memilih antara melakukan atau meninggalkannya. Sang Syari’ tidak menuntut agar mukallaf berbuat dan tidak juga menuntut agar mukallaf meninggalkannya.
Terkadang kebolehan berbuat (mubah) itu ditetapkan dengan nash syara’ seperti jika Syari’ menetapkan bahwa tidak berdosa berbuat ini maka hal ini menunjukkan kebolehan. Sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an surat al-baqarah ayat 229 :
Hukum mubah ditetapkan karena ada salah satu dari tiga hal, yaitu :
Tiada berdosa bagi orang yang mengerjakan perbutan yang semula haram dengan adanya qarinah (tanda-tana) atas diperbolehkannya perbuatan tersebut.sebagaiman firman Allah Swt :baq173
Tiada nash (dalil)yang menunjukkan haramnya perbuatan tersebut, semisal mendengarkan dan mempergunakan radio.
Ada nash yang menunjukkan atas halalnya, sesuai dengan firman Allah Swt : mai 5
Hukum Wadh’i
Para ulama berbeda dalam pembagian hukum waddh’I. Sehingga dalam memaparkan arti hukum wadh’I itu pun berbeda. Dr. wahbah Zuhaily memberikan pengertian dan maksud serta apa yang dibahas didalam hukum wadh’I dengan ketentuan yang menjadikan atau menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, mani’ (penghalang), sah, fasid, ‘azimah atau rukhsah.9 Sedangkan prof. Muhammad Abu Zahrah berpendapat bahwa hukum wadh’I mempunyai arti dan ranah pembahasan yang berhubungan sebab, syarat dan mani’.10
Sebab
Sebab adalah sesuatu yang dijadikan syariat sebagai tanda bagi adanya hukum dan tidak adanya sebab sebagai tanda bagi tidak adanya hukum. Sebab dapat dibagi menjadi dua, yaitu : 11
Dilihat dari segi kemampuan mukallaf mewujudkannya sebab dapat dibagi dua macam.Pertama , ghairu mahmul lah yaitu sebab yang yang bukan perbuatan mukallaf dan ia tidak mampu untuk mewujudkannya . Apabila sebab ini terwujud maka berlakulah hukum. Dalam hal ini Syari’ yang menentukan ada atau tidaknya hukum tersebut , misalnya tergelincirnya matahari sebagai sebab wajib shalat dhuhur dan datangnya bulan Ramanhan sebgai sebab wajib puasa. Kedua, mahmul lah merupakan sebab yang perbuatan mukallaf dan mukallaf mampu mewujudkannya semisal, melakukan perjalanan sebagai sebab untuk bolehnya berbuka puasa di siang bulan Ramadhan.
Dari segi pengaruhnya terhadap hukum, sebab dibagi menjadi dua macam. Pertama, sebab yang berpengaruh pada hukum taklifi semisal harta senishab manjadi sebab wajib zakat.Kedua, sebab terhadap suatu hukum berpengaruh pada perbuatan mukallaf, seperti akad jual beli menjadi perpindahan milik dari penjual kepada pembeli.
Syarat
Syarat mempunyai arti sesuatu yang adanya hukum itu tergantung pad adanya sesuatu itu dan tidak adanya menjadikan tidak adannya hukum.Yang dimaksud adalah keberadaannya menimbulkan suatu pengaruh.12 Dapat dikatakan tidak adanya syarat berarti pasti tidak adanya hukum, tetapi wujudnya syarat tidak pasti wujudnya hukum.13 Syarat terbagi menjadi dua, yaitu:
Dari segi sumber yang menentukan syarat maka syart terbagi menjadi dua macam :
Syarat syar’i, yaitu syarat yang datang langsung dari syari’(Allah), keadaan rusyd (kemampuan untuk mengatur pembelanjaan sehingga tidak mubadzir) bagi seorang anak yatim dijadikan syariat sebagai syarat untuk wajib menyerahkan harta anak yatim kepadanya, seperti dijelaskan dalam firmsn Allah surat An-Nisa’, 4:6
,,,,,,,,,,,,,,>>>>>>>>>>>>>>….
Syarat ja’ly, yaitu syarat yang berasal dari kemauan mukallaf. Misalnya, syarat yang ditetapkan oleh orang-orang yang melakukan transaksi pemilikan dan pemindahan hak. Syarat bentuk kedua ini harus sejalan dengan syara’. Syarat ja’ly terbagi menjadi dua macam. Pertama, syarat yang tergantung kepadanya adanya akad. Dengan kata lain, mukallaf yang terkait dengan akan tersebut menetapkan bahwa berlangsungnya akad tergantung dengan terpenuhinya syrat yang telah ditetapkan. Hal seperti ini termasuk dalam syarat sebab. Misalnya, seorang suami berkata kepada istrinya : apabila kamu mencuri, maka jatuhlah talaqmu satu. Kedua, syarat yang berhubungan dengan akad, seperti pernikahan bersyarat dengan suami tidak membawa istrinya keluar dari kampung halaman istri tersebut.
Dilihat dari hubungan sabab dengan musabbab,maka syarat terbagi dua macam.14
Syarat yang menyempurnakan sebab, seperti melakukan dengan sengaja yang disertai dengan permusuhan menjadi syarat untuk pembunuhan yang menyebabkan berlaku hukum qishash bagi pembunuhnya.
Syarat yang menyempurnakan musabbab, seperti meninggal muwwaris(orang yang mewariskan) secara hakiki atau secara hukum dan hidupnya ahli waris ketika wafat ahli muwwaris adalah dua syarat untuk berlakunya kewarisan melalui hubungan kerabat dan perkawinan.
Mani’ (penghalang)
Mani’ adalah sesuatu yang adanya meniadakan hukum atau membatalkan sebab. Dapat dikatakan bahwa mani’ merupakan penghalang bagi terwujudnya hukum. Semisal, akad perkawinan yang sah menyebabkan terjadi hubungan kewarisan antara suami dan istri. Namun, hak saling mewarisi antara suami istri tersebut dapat mnjadi terhalang karena salah satu pihak melakukan pembunuhan terhadap pihak lain.
Para ahli ushul fiqa membagi mani’ pada beberapa macam :
Mani’ hukm adalah sesuatu yang ditetapkan Syari’ sebagai penghalang adanya hukum. Misalnya, adanya perbedaan agama dan pembunuhan yang keduanya merupakan mani’ (penghalang) untuk dapat memperoleh harta warisan.15
Mani’ sabab, yaitu sesuatu yang keberadaannya menghalagi berfungsinya suatu sebab. Sebagai contoh apabila seseorang memiliki harta sampai satu nisahab nenjdi sebab ia wajib mengeluarkan zkat hartanya.
‘Azimah dan Rukhshah
Sebagian ahli ushul fiqh menempatkan ‘azimah dan rukhshah sebagai bagian dari hukum taklifi. Akan tetapi kami mengelompokkannya kepada hukum wadh’i.karena kebanyakan buku yang diterima yang sampai makalah ini ditulis mengelompokkan pada hukum wadh’i.
‘Azimah
‘Azimah secara etimologi bararti “tekad yang kuat”.16Sedangkan secara terminology ‘azimah mempunyai arti sesuatu hukum yang dituntut syara’ yang bersifat umum , tidak ditentukan dengan suatu golongan yng diistimewakan atau dengan suatu keadan yang dikecualikan.17
Jadi mukallaf dituntut melaksanakan hukum-hukum tersebut denagn menggunakan kemampuan untuk mencapai sasaran yang dikehendaki hukum tersebut. Misalnya, perintah shalat, puasa, zakat dan haji yang berlaku bagi setiap mukallaf. ‘Azimah terdiri dari beberapa macam.
Hukum yang disyari’atkan sebagi pembatal (nasikh) terhadap hukum lain sehingga yang menasakhkan ini seperti hukum yang berlaku sejak semula (‘azimah). Dalam hal ini, yang mansukh seolah-olah tidak pernah ada.
Hukum yang disyari’atkan karena ada sebab yang muncul. Tegasnya suatu hukum tidak ada kecuali sesudah ada sebabnya.
Hukum yang disyari’atkan sejak semula untuk mewujudkan kemashlahatan manusia secara keseluruhan seperti jual beli.
Hukum yang disyari’atkan sebagi pengecualian dari hukum-hukum yang berlaku umum. Seperti firman Allah surat al-Baqarah ayat 229 :
Rukhshah
Secara etimologi berarti “kemudahan.”18Sedangkan secara terminology rukhshah mempunyai arti keringanan hukum yang telah disayari’atkan Allah Swt atas mukallar dalam keadaan tertentu yang sesuai denga keringanan tersebut.19Para ulama ushul figh membagi rukhshah dengan tinjaun yang berbeda pada beberapa bagian.20
Rukhsah yang bersifat wajib, seperti memakan bangkai hewan bagi orang dalam keadaan darurat atau terpaksa.hal itu wajib dilakukan orang itu demi menyelamatkan nyawanya.
Rukkhsah yang bersifat mandub,misal melakukan qoshar shalat bagi orang musafir.
Rukhsah yang bersifat mubah,seperti jual beli salam.sebenarnyasalah satu rukun jual beli yaitu adanya barang ketika akad dilakukan.namun, karena kebutuhan manusia, ketiadaan barang ketika akad dibolehkan dalam jual beli salam.
Sah dan Batal
Semua perbuatan mukallaf yang dituntut oleh Syari’ dan semua hukum sebab-akibat yang ditetapkannya, bila telah dilakukan oleh mukallaf maka mungkin Syari’ akan menganggap sah atau batal.
Sah sacara terminology bararti tercapai sesuatu yang membarikan pengaruh secara syara’.21 Dengan kata lain jika perbuatn itu sudah dilaksanakan sesuai tuntutan Syari’ danapa yang disyari’atkannya, artinya sudah memenuhi rukun dan syaratnya, maka kemungkinan syari’ menghukumi sah. Menurut Khudhari Beik istilah sah dipakai untuk dua makna.
Menunjukkan tercapainya maksud suatau perbuatan di dunia.
Denagn sah perbuatan itu, seseorang berhak mendapat pahala dari Allah Swt di akhirat.
Semantara batal merupakan lawan dari sah. Jadi batal berarti tidak tercapainya suatu perbuatan yang memberika pengaruh secara syara’. Sebagaimana itilah sah, istilah batal pun digunakan untuk dua makna.
Menjelaskan tidak terwujudnya pengaruh suatu perbuatan di dunia.
Bahwa perbuatan muamalat tidak membawa implikasi pahala di akhirat bagi pelakunya.
Komparasi Ilmu Ushul Fiqh dengan Ilmu Hukum Modern
Sebagaiman yang telah dibahas di atas ilmu ushul fiqh adalah ilmu yang mempelajari tentang kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang cara (metode) pengambilan (penggalian) hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalil syar’i(al-Qur’an dan as-Sunnah). Yang dimana hasil dari ushul fiqh tersebut adalah fiqh. Fiqh yaitu ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan amaliah yng diusahakan memperolehnya dari dalil-dalil yang jelas.22Sehingga sasaran dari fiqh sandiri yaitu :
Penyucian jiwa,agar setiap muslim bisa mnjadi sumber kebaikn bagi masyarakat lingkungan. Hal ini dapat ditempuh dengan berbagai ragam ibadahyang kesemuanya dimaksudkan untuk membersihkan jiwa serta memperkokoh kesetiakawanan social,contohnya shalat. Sebagaimana firman Allah : ank 45
Menegakan keadilan dalam masyarakat Islam, adil baik menyangkut urusan diantara kaum muslimin maupun dalam berhubungan dengan pihak lain (non muslim). Firman Allah Swt :mai8
Merupakan tujuan puncak yang hendak dicapai dan harus terdapat di dalam setiap hukum Islam, yaitu maslahat (kemaslahatan). Maslahat Islamiyyah mengacu pada pemeliharaan terhadap agama, jiwa, akal, harta dan keturunan. Tanpa adanya lima hal tersebut kemuliaan, kemakmuran serta keadilan sulit terwujud.
Sedangkn ilmu hukum mempelajari pengetahuan tentang segala ketentuan yang mengatur dalam segala sesuatu di masyarakat. Hukum modern juga mempunyai tujuan yang sama dengan hukum Islam yaitu mengatur pergaulan hidup manusia secara damai. Perdamaian yang dimaksud adalah perdamaian diantara manusia dengan melindungi kepentingan-kepentingan manusia seperti, kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda, dll dari sesuatu yang merugikan.23 Khususnya pada perlindungan hak di Indonesia telah diatur pada UUD 1945 pada pasal 28. Ciri-ciri hukum modern (umum) :24
Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat.
Peraturan diadakan oleh badan-badan resmi yang terkait.
Bersifat memaksa.
Besanksi tegas.
Simpulan
Sampai pada bagian simpulan ini penulis setelah membahas ilmu ushul fiqh shingga menjadi berbentuk makalah separti di atas kami dapat memberikan kesimpulan :
Ushul fiqh secaraterminologi mempunyai arti kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang cara (metode) pengambilan (penggalian) hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalil syar’i.
Hukum syara’ dibagi menjadi dua, hukum taklifi dan hukum wadh’i. Hukum taklifi dibagi lagi menjadi lima,wajib,mandub, haram, makruh dan mubah. Sedangkan hukumtaklifi dapat terbagi menjadi,sebab, syarat,mani’ (penghalang), ‘azimah dan rukhshah serta sah dan batal.
Ilmu ushul fiqh dan ilmu hukum modern khususnya pada hukum keduanya sebenarnya mempunyai persamaan salah satunya pada tujuan kedua hukum yaitu untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran. Walaupun terdapat perbedaan pada pembuat hukumnya. Pada hukum Islam pembuat hukum (Syari’) adalah Allah dan rasul-Nya,sedangkanpada hukum modern (umum) dibuat oleh badanatau instansi terkait (manusia).
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim
Apeldoorn, Van.2001. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : PT Pradnya Paramita
Firdaus. 2004.Ushul Fiqh metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensip. Jakarta : Zikrul Hakim
Jumantoro, Totok dan Samsul Munur Amin.2005. Kamus Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta : Sinar Grafika Offset
Khallaf,Abdul Wahab. 2003. Ilmu Ushul Fiqh Kaidah Hukum Islam. Jakarta : Pustaka Amani
Zahrah,Muhammad Abu. 2003. Ushul Fiqh. Jakarta : Purtaka Firdaus
Zuhaily, Wahbah. 2006. Ushul Fiqh Islamy. Damaskus : Dar al-Fikr
1 Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Ushul Fiqh,(Jakarta : Amzah, 2005) hal.340
2 Muhammad Abu Zahrah,Ushul Fiqh,(Jakarta : Pustaka Firdaus, 2003), hal. 2
3 Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh Islamy,(Damaskus : Dar al-Fikr, 2006) hal.46
4Firdaus,Ushul fiqh Metode MEngkaji Dan Memahami Hukum IslamSecaraKomprehensip,(Jakarta : Zikrul Hakim, 2006),hal. 239
5 Ibid., hal. 240-244
6Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh Kaidah Hukum Islam,(Jakarta : Pustaka Amani, 2003), hal. 52
7 Firdaus, op.cit., hal. 245-246
8 Ibid., hal. 247
9 Wahbah, op. cit., hal. 98
10 Muhammad Abu Zahrah,op, cit., hal. 69
11 Firdaus, op. cit., hal. 249-250
12 Abdul Wahhab Khallaf, op. cit., hal. 164
13 Muhammad Abu Zahrah, op. cit., hal. 75
14 Firdaus,op.cit., hal. 253
15 Muhammad Abu Zahrah, op.. cit., hal. 79
16 Firdaus, op. cit., hal. 257
17 Totok Jumantoro, op. cit., hal. 32
18 Wahbah Zuhaily, op. cit., hal. 114
19Abdul Wahhab Khallaf, op. cit.,hal. 167
20 Firdaus, op. cit., hal. 260-261
21 Ibid., 265
22Totok Jumantoro, op.cit., hal. 64
23Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum,(Jakarta : PT Pradnya Paramita, 2001), hal.10-11
24 Proses pembelajaran pada mata kuliah Ilmu Hukum semester II 11 Maret 2009